Senin, 12 Desember 2011

Aceh dan Syariat Merdeka

Oleh Muhammad Yani

TAHUN 1998 awal mula terjadi dinamika politik hukum Indonesia, yang ikut membawa dampak terhadap dinamika yuridis. Hukum Islam yang merupakan bagian dari hukum nasional turut mengalami perubahan, tidak terkecuali sektor hukum pidana (jinayah)-yang sebelumnya penuh dengan ketidakmenentuan. Dinamika hukum, terutama sekali,  ditandai peralihan sistem pemerintahan sentralistik menjadi sistem  otonomi. Sistem ini tertuang di dalam UU No. 32 Tahun 2004.

Provinsi Aceh yang mayoritas muslim dan memliki pengalaman di bidang hukum Islam tidak tinggal diam dalam menyusun naskah qanun dan memberlakukannya di dalam sosio-yuridis masyarakat. Masa dinamika ini kerap dikenal era reformasi. Bagi Aceh, era ini menjadi awal peneyelesaian konflik selama 30 tahun-an secara beradab; melalui jalur perundang-undangan.

Penulis tertarik dengan tulisan Mukhtaruddin Yacob dalam “Apa Kabar Syariat Islam?” (Serambi Indonesia, 28 November 2011). Ia memaparkan fenomenologi teoritis dan praktis syariat di Aceh, namun kurang menyinggung tentang peranjakan syariat Islam di Aceh. Nuansa Islami di Aceh merupakan dampak historis era kesultanan terhadap masa kekinian. Pelaksanaan syariat Islam pernah tegak secara bebas (merdeka) jauh sebelum Aceh menjadi Negara bangsa tahun 1945.

Melalui syari’atisasi hukum di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemeritah Aceh saat ini telah dapat memposisikan diri di posisi tengah antara pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengamalan politik hukum. Pemerintah Aceh tidak lagi dengan serta merta mengekor pada hukum produk nasional. Fenomena ini memperlihatkan dimensi dinamisasi (peranjakan) politik hukum yang jelas. Aceh telah  berbeda dari daerah lain di Indonesia dalam sektor peradilan Islam. Qanun Jinayat Aceh yang dihasilkan di Aceh yang menangani ‘uqubat (hukuman) bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat, misalnya,  merupakan fakta dinamisasi yuridis di Aceh, Indonesia. Meskipun Hukum jinayah lainnya seperti Qisas, Hudud belum dapat dipraktikkan.

Pengesahan UU No. 18 Tahun 2001--tentang perubahan Aceh dari Daerah Istimewa menjadi Nanggroe Aceh Darussalam--merupakan UU yang memberikan peluang bagi Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri, alias merdeka (self government), sebagaimana kentara pada realitas hukum Islam (jinayah) ini. Implementasi hukum jinayah dilaksanakan Mahkanah Syariyah yang tidak jauh berbeda dari Lembaga Al-Qada di dalam Islam. Mahkamah ini pada mulanya merupakan Pengadilan Agama yang tunduk kepada Departemen Agama RI-yang sekarang telah berubah nama menjadi Kementerian Agama RI. Kealpaaan Kementerian Agama dalam mengatur hukum pidana merupakan faktor utama pelaksanaan hukum jinayah Aceh dikomandoi Mahkamah Agung secara horizontal otonomis.

Pengalihan ini merupakan dinamika institusi peradilan di Indonesia dewasa ini. Pasca pengesaahan UU No. 18 Tahun 2001, keputusan presiden Megawati Sukarnoputri No. 11 Tahun 2003 ikut menyetir langsung tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam. Fenomena ini menunjukkan bahwa diktum  janji “Pendiri Negara” (tempo dulu) sudah nampak pada realita. Pada Juni 1948 Presiden Sukarno pernah berjanji--di hadapan pengurus PUSA--bahwa ia akan memberikan hak otonomi untuk menjalankan syariat Islam bagi provinsi Aceh jika Aceh mendukung kedaulatan Indonesia dalam Agresi Militer Belanda II pada tahun 1947.

Kedudukan Lembaga kehakiman RI dapat dilihat pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Sedangkan Mahkamah Syariyah provinsi bertugas merealisasikan tugas-tugas peradilan di daerah. Berangkat dari definisi ini Mahkamah Syar’iyah Wilayah Aceh merupakan peradilan independen dalam menangani kasus yang berkaitan dengan pelanggaran Qanun “Jinayat”. Jelasnya, apa pun yang berkaitaan dengan peradilan di Aceh, menjadi penanggung jawab Mahkamah Syar’iyah Aceh.

Syariat Islam dalam Self Government
Secara teoritis dan praktis, di dalam sistem pemerintah Islam, kewenangan peradilan (al-qada) terbagi ke dalam tiga wilayah (kewenangan), yaitu (1) wilayah mazhalim, (2) wilayah qadha, dan (3) wilayah hisbah. Wilayah madhalim merupakan kewenagan pemerintah Islam dalam sektor umum keduniaan-yang berdasarkan dustur (konstitusi) Islam. Sedangkan kewenangan al-qada dan wilayah hisbah lebih terkait dengan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjaga kemaslahatan dalam masyarakat. Melalui kewenangan-kewenangan ini pula pemerintahan Islam memberikan penekanan terhadap ketentuan-ketentuan hukum, agar hukum dapat terealisir dalam masyarakat secara ideal. Wilayah hisbah dapat memberikan tindakan hukum secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran aturan-aturan syara’ (agama).  Berangkat dari dimensi teoritis, Mahkamah Syar’iyah di Aceh, sebagaimana dikatakan di atas merupakan institusi hukum yang menangani pelaksanaan Hukum jinayat, di samping tugas-tugasnya yang lain. Institusi ini telah mendapatkan payung hukum di dalam Hukum Perundang-undangan RI dalam menjalankan syariat secara fleksibel dalam kontek keistimewaan Aceh. Sekarang UU No.18 Tahun 2001, yang sebelumnya membawa dampak pada pengesahan Qanun No 12, 13, 14 Tahun 2003, telah dibatalkan. UU ini menjadi batal dengan “kedatangan UU No. 11 Tahun 2006 yang lebih berdaulat. Dikatakan berdaulat karena  UU yang ini mengatur tentang pemerintah Aceh. Qanun-qanun Aceh (termasuk qanun tersebut) yang disahkan pasca UU No. 18 Tahun 2001 tidak mengalami pembatalan, bahkan mengalami pengukuhan.

Penegesahan UU No. 11 Tahun 2006 ikut membawa dampak pada pengesahan dan pelaksanaan sejumlah qanun Aceh, tidak terkecuali  manivestasi program-progaram Lembaga Mahkamah Syar’iyah. Segenap pelengkap prosesi eksekusi tindak pidana dapat dijalankan. Algojo eksekusi tindak pidana (khamar, judi, dan khalwat) kerap direkrut dari anggota Wilayatul Hisbah.

Kedua lembaga ini saling terkait dan saling mendukung, serta melahirkan fenomena peyesuaian lembaga peradilan Aceh menjadi Islami secara ideal. Kedua lembaga pelengkap peradilan Islam ini juga ada di Negara-negara Islam. Meskipun Aceh bukan sebuah negara Islam, namun telah dapat bersanding dengan negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, Sudan, dan lain-lain-dalam pengamalan syariat secara merdeka (mandiri).

* Penulis adalah Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya