Rabu, 14 Desember 2011

Belajar dari Kenduri

Oleh Teuku Azhar Ibrahim

DALAM banyak sisi kehidupan hal-hal penting dilupakan karena dianggap kecil namun sesungguhnya kelupaan itu berakibat besar. Lupa itu sendiri kebiasaan buruk dan dituduh sebagai perbuatan setan. Jenis kelupaan sering terjadi di tempat kenduri atau hajatan, kebetulan pula negeri ini kaya kenduri. Orang lahir ada  kenduri, sunat juga kenduri, pesta perkawinan memang selayaknya  kenduri dan orang mati pun di beberapa tempat punya jadwal kenduri lebih banyak dibanding kenduri lain.

Sebagian tamu, entah kurang pengetahuan atau memang punya kebiasaan buruk, makanan dipenuhi piring dengan bermacam menu, terus  setengahnya tidak habis dimakan. Kebiasaan pula, menu yang sudah masuk ke satu piring tidak akan masuk ke piring lain, selanjutnya jadi sampah. Dalam skala satu piring adalah masalah kecil tapi kalau jumlahnya ribuan piring akan menjadi hal besar. Tidak mungkin tuan rumah buat pengumuman “kepada segenap undangan mohon ambil hidangan secukupnya dan jangan sisakan dalam piring.” Karena itu dianggap masalah kecil dan sudah menjadi pengetahuan umum serta sudah maklum sejak kecil.

Inti persoalan adalah mengambil lebih dari yang dibutuhkan, ketika kebiasaan buruk pada saat kenduri dibawa dalam kehidupan lebih luas, bencana pun terjadi di segala sendi kehidupan. Seorang pegawai semestinya ia sudah cukup dari porsi diperoleh tiap akhir bulan. Tidak perlu memaksa diri mengambil lebih, karena yang lebih itu jatah orang lain akan datang menyusul, persis seperti pada sebuah kenduri. Kelebihan porsi tidak termanfaatkan dengan baik. Kalau sekadar nasi dan lauk lebih mungkin bisa untuk bebek dan ayam, tapi kedua unggas tersebut makanan pokoknya adalah dedak.

Jika Kebiasaan buruk itu terbawa dalam pembuatan infrastruktur, maka jembatan akan runtuh dan orang-orang tak bersalah mati sia-sia, bangunan sekolah tumbang dan para siswa masuk rumah sakit  atau kuburan. Semestinya semen, besi, dan segala kebutuhan untuk insfrastruktur bangunan publik tidak dimasukan dalam lis kebutuhan pribadi. Karena rumah pribadi tidak perlu sebesar rumah sakit umum atau bangunan sekolah untuk anak-anak dari rakyat jelata. Jumlah pengunjung rumah sakit dan sekolah jauh dari jumlah pengunjung rumah seorang kepala dinas atau wakil rakyat, atau pemangku jabatan apa pun di negeri ini.

Ada sebagian berpendapat; tidak ada masalah mengambil lebih karena namanya juga kenduri, pasti sudah disiapkan masakan melebihi jumlah tamu undangan. Dalam kasus lebih besar juga menerapkan falsafah yang sama; jumlah uang melimpah milik negara apa ralatnya menarik sedikit umpah tambahan. Dan sepanjang jalur birokrasi, setiap unit  menarik sedikit upah lebih hingga dana sampai ke peruntukan proyek tinggal kurang dari setengah. Maka tidak jarang angka tertulis di plakat untuk sebuah jembatan menakjubkan, tapi hasil jembatan menakutkan untuk dilalui. Belum lagi banyak proyek tidak selesai hingga memerlukan sidak siang malam ke pedalaman.

Banyak pula pihak berdalih, porsi akhir bulan terlalu kecil untuk memberi makan anak istri, selanjutnya pihak tersebut dinamakan dengan oknum. Penggunaan kata oknum untuk memberi kesan “nothing wrong with this country” atau tidak ada yang salah dengan kami dalam mengurus negeri. Kalau pun terdapat kesalahan maka dijuluki pelaku sebagai oknum. Bila menilik dari kasus-kasus korupsi yang terjadi telah melibatkan banyak oknum dari atas hingga bawah tapi yang muncul ke pengadilan satu dua orang saja. Selebihnya para oknum bayangan di belakang layar. Soalnya kalau semua harus ke pengadilan, negeri ini akan berubah menjadi “Republik Oknum.” Walau banyak kasus terasa ganjil; ada ketua tidak tahu kalau bendahara melakukan pembayaran haram, ada atasan tidak tahu bawahannya mengelola triliunan rupiah dari sumber haram.

Sebagaimana kenduri bertujuan untuk meningkatkan silaturrahim, demikian juga aktivitas lain. Hajatan pemilihan wakil rakyat, para pemimpin untuk duduk di tampuk-tampuk kekuasaan bertujuan untuk membantu rakyat, namun setelah kursi empuk ditempati tujuan terlupakan bahkan penyetujuan pembangunan harus ada kesepakatan bagi untung. Bagaimana negeri ini akan dibangun kalau hal sangat penting terlupakan.

Demikian juga para pembuat kebijakan lupa menghitung akibat dari kebijakan yang telah dibuat. Umpamanya, satu sisi mengidamkan hasil pertanian terserap di pasaran, petani makmur dan rajin bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan orang banyak. Namun pungutan  membuat petani tidak mampu bersaing di pasar. Dari angka memang tidak besar, umpamnya satu kilo sayuran hanya dibebani 50 rupiah, apalah lima puluh rupiah. Saat petani menghitung total modal yang dikeluarkan mulai dari tanam hingga sampai ke tangan pembeli, mereka dapatkan keuntungan sangat kecil “tulak tong meugule tem” akhirnya dia menyerah. Sementara pemasuk dari luar dengan modal besar, fasilitas lengkap menguasai pasar, akhirnya Halia pun datang dari Negeri Cina. Para pembuat kebijakan di bidang lain mengarahkan telujuk kepada para petana “petani kita malas.” Demikian sempurna sudah tugas dan tanggungjawab.

Ada juga pada sebuah kenduri, tamu merambah kawasan terlarang, mengambil barang yang tidak dihidangkan, memasuki zona pribadi tuan rumah. Umpamanya, dalam lingkungan kampus yang sudah memiliki pagar dengan baik tukang parkir beroperasi, sementara ada juga Satpam penjaga keamanan kampus. Bagi mahasiswa, kampus adalah rumah kedua setelah rumahnya. Ia boleh keluar masuk dua puluh empat jam untuk melakukan aktivitas akademik. Namun ketika harus ada tukang parkir dalam pagar fakultas menciptakan rasa kurang aman bagi mahasiswa, memang angkanya cuma seribu rupiah, tapi kalikan jika tiap hari seorang mahasiswa keluar masuk tiga sampai empat kali tiap hari.

Se-elite apa pun sebuah fakultas tetap ada mahasiswa dari kalangan tidak mampu. Terlepas dari angka yang harus dibayar adalah fungsi utama kuliah sebagai rumah kedua penuntut ilmu tertanggangu.  Seumpama tamu yang masuk ke dapur pada acara kenduri, kesannya akrab tapi tuan rumah tetap tidak nyaman.

Pelajaran kenduri juga berguna bagi empunya hajat. Kadangkala tuan rumah punya jumlah menu berlimpah tapi tidak menyajikan di meja di tamu, alasan bisa beragam, mungkin untuk dimakan besok lusa atau untuk acara pembubaran panitia. Alhasil jumlah makanan yang tersimpan menjadi basi dan terbuang. Hal itu bisa terlihat di akhir Desember, tiba-tiba dapat pengumuman sekian triliun harus dikembalikan karena tidak habis terserap. Ganjil memang, jalan masih banyak berlubang, akses ke pedalaman sangat terbatas, fasilitas pendidikan pas-pasan. Banyak makanan lebih tapi sebagian besar tamu kelaparan. Kenduri yang banyak ragam itu menyimpan pelajaran.

* Penulis adalah alumnus Filsafat Univ. Al Azhar Cairo. Pengarang Novel.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya