Rabu, 14 Desember 2011

Bulan Kepekaan

Oleh Faizal Adriansyah

DARI mana kita berasal sebelum kita hidup di permukaan bumi ini, apa tugas kita setelah hadir di muka bumi ini dan ke mana kita akan pergi setelah habis masa tinggal kita di bumi ini?

Ramadhan adalah bulan yang sangat tepat untuk kita merenungkan kembali semua pertanyan di atas dan mencoba menjawabnya untuk membangun kesadaran bahwa hidup kita di dunia ini terbatas, ada saatnya kita lahir dan ada saatnya kita akan mati. Rasulullah bersabda “Silahkan kamu berbuat apa pun yang kamu suka, tapi ingatlah kamu pasti akan mati”.

Di bulan lain kita semua hampir tidak punya waktu untuk merenung, berdialog dengan diri kita sendiri dan mengevaluasi diri kita. Karena kita semua disibukkan dengan persoalan duniawi kita. Ada yang habis waktunya menggarap sawah dan ladang, karena mengharap panen yang besar, ada yang di laut nan lepas berhari, berminggu, ada yang habis waktunya di kantor dengan pekerjaan yang seakan tak pernah selesai, ada yang terus menerus di lapangan meninggalkan keluarga berlama-lama dengan proyek-proyek besar, ada yang habis waktunya di warung kopi dengan berbagai obrolan yang tidak berujung pangkal, ada yang habis waktunya di depan komputer dengan facebook, chating dan twitter dan ada pula yang habis waktunya dengan luntang lantung tanpa tujuan di jalan, di taman, di pasar.

Namun, insyaallah dengan panggilan Ramadhan ini kita semua tiba-tiba rindu ketenangan, rindu kedamiaan, rindu berkumpul dengan keluarga, handai taulan, rindu dengan jamaah dan puncaknya rindu perjumpaan dengan Sang Khaliq. Kita ingin hidup dengan gema wahyu illahi dengan lantunan dzikir subhannallah, wal hamdulilah, wa la ilaha ilallah, wallahu akbar. Nada indah yang hampir jarang terdengar dari lisan kita di luar Ramadhan. Kita sering mendengar di luar Ramadhan kata-kata kasar, caci maki, kata-kata kotor, sumpah serapah. Bersama Ramadhan ucapan kita menjadi santun, sejuk, bermakna dan menyambung silaturrahmi.

Di bulan Ramadhan ini kita lebih peka dengan suara adzan. Kalau di luar Ramadhan suara adzan hampir tak pernah terkesan, karena musik kesayangan yang lebih tertanam dalam benak dan ingatan kita. Melalui Ramadhan ini lantunan adzan menjadi nyanyian yang syahdu dan indah. Bibir kita akan mudah tergetar untuk mengikuti panggilan muadzin. Adzan yang dihayati menjadikan hati kita tentram bersama kebesaran dan keagungan Tuhan. Allahu akbar-Allahu akbar.

Bulan Ramadhan memang bulan kepekaan, tidak hanya peka dengan lantunan dzikir tetapi juga peka sosial yaitu tumbuhnya kesadaran sosial dalam batin kita untuk peduli bukan saja pada hal yang hanya berkaitan dengan aspek transendental dan ritual keagamaan, tetapi juga peduli dengan aspek-aspek sosial kemanusiaan. Hal ini terefleksi dalam bentuk keprihatinan terhadap kondisi sosial yang terdapat dalam kehidupan keseharian, misalnya kepedulian terhadap realitas sosial seperti hormat dan berbakti kepada orang tua, menyantuni anak yatim dan orang-orang miskin, membela orang yang tertindas hak dan martabatnya, keberanian melakukan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, ketaatan kepada pemimpin.

Inilah bulan di mana kita bisa mengadu kepada Allah, betapa lelahnya kita selama ini dengan berbagai hal yang tidak pasti, tetapi kita lupa dengan sesuatu yang pasti yaitu perjumpaan dengan Nya. Kita berasal dari Allah, karena Allah lah yang telah menciptakan kita, memuliakan kita, meninggikan derajat kita dari mahluk lainnya. Kata Sayyidina Ali Bin Abi Thalib “Saat seseorang sujud dalam shalatnya saharusnya menyadarkan ia akan asal usulnya bahwa ia tercipta dari tanah. Ketika dia bangun dari shalatnya mengingatkan bahwa kemuliaan yang ada pada dirinya saat ini tidak lain karena kasih sayang Allah yang telah mengeluarkan tanah tersebut menjadikannya manusia sebagai mahluk mulia. “Bukankah banyak tanah yang Allah jadikan monyet, cacing, lembu dan lain sebagainya. Tetapi tanah ini telah Allah pilih menjadi manusia “sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At Tin ayat 4).

Allah mencipta manusia tentu dengan tujuan, bukanlah sia-sia. Tujuan kehadiran manusia di muka bumi yang pertama adalah untuk mengabdi kepada Allah sebagaimana firmannya “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Jadi manusia pertama diperintahkan untuk menjadi “Abdullah” yaitu hamba Allah yang taat. Di samping sebagai “Abdullah” manusia juga adalah “Khalifah” yang bertugas membangun peradaban (QS. Al Baqarah ayat 29-30). Dengan demikian manusia berbeda dengan mahluk Allah yang lainnya, karena manusia memiliki peran ganda yaitu sebagai “Abdullah” dan sekaligus “Khalifatullah”.

Akhir perjalanan hidup kita di dunia adalah kematian, namun kematian bukanlah akhir segalanya, tapi kematian adalah awal semua pertanggungjawaban manusia terhadap sepak terjangnya di muka bumi. Inilah yang diingatkan oleh Rasulullah “kamu dapat berbuat apa saja sesuka hatimu tapi kamu pasti akan mati”. Persiapan untuk kematian adalah memperbanyak amal kebajikan karena sesuai firman Allah dalam surah Al-Qaari’ah bahwa amal kita akan ditimbang, siapa yang berat amal kebaikannya selamatlah ia, namun sebaliknya celakalah bagi mereka yang ringan amal kebaikan alias lebih berat dosa dan maksiat. “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah” (QS. Al Qaari’ah ayat 6-9).

Manusia sesungguhnya tercipta sebagai mahluk yang fitrah dan suci, bentuk kesucian manusia terlihat dari penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani yang berasal dari kata ‘nuur’ artinya cahaya. Dengan demikian ketika kita menyebut ‘hati nurani’ terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’ atau ‘menerangi’ jalan hidup kita. Itulah sebabnya Rasulullah saw. ketika ditanya sahabat Wabisah al Ashadi tentang cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan buruk, beliau menjawab,  “tanyalah kepada hatimu!”. Namun manusia juga mahluk yang lemah sebagaimana dalam surah An Nisa ayat 4". Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa, di mana manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa sehingga mengotori kesucian jiwanya. Kelemahan inilah yang membuat manusia keluar dari kesuciaan dan kemuliaanya. Dalam kondisi jiwa yang kotor penuh dosa maka derajat manusia jatuh bahkan lebih rendah dari binatang sebagaimana firman Allah dalam surah Al Araf ayat 179 “mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi”

Terhadap manusia  yang “terpeleset” jatuh dalam dosa dan kehinaan, Allah dengan sifat Rahman dan Rahim Nya selalu memberi kesempatan dan memberi banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri dan keluar dari dosa. Di antaranya dengan istighfar, shalat lima waktu, shalat Jumat ke Jumat. Dan yang paling istimewa adalah Ramadhan sebagaimana sabda Rasulullah saw “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka akan diampuni segala dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang.” (H.R. Ahmad).

* Penulis adalah Kabid Kajian Aparatur PKP2A IV LAN.

Editor : teguhpatria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya