Senin, 12 Desember 2011

Korupsi dan HAM

Oleh Saifuddin Bantasyam

TIGA hari lalu (Jumat, 9 Desember 2011) masyarakat dunia memeringati Hari Antikorupsi Sedunia, sedangkan esoknya (Sabtu, 10 Desember), kita semua di planet bumi ini, memeringati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Korupsi tak lagi dilihat sebagai ordinary crime (kejahatan biasa) melainkan sudah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi juga kejahatan melawan kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan kemanusiaan adalah pelanggaran berat HAM, yang ingin dilenyapkan oleh seluruh bangsa yang beradab.

Pelenyapan kejahatan korupsi itu sedemikian mutlak dilakukan mengingat dampak hebat korupsi. Menurut Gunnar Myrdal, korupsi (a) memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan kurang tumbuhnya pasar nasional; (b) mempertajam masalah masyarakat plural, kesatuan negara melemah, menimbulkan instabilitas politik; dan (c) turunnya disiplin sosial.

Di pihak lain, Holloway menyebut korupsi menyebabkan hilangnya modal finansial karena aset-aset finansial negara telah dicuri, pindah ke tangan-tangan pribadi, rendahnya pemasukan negara, hilangnya investasi luar negeri, dan informasi keuangan yang tak dapat diandalkan. Korupsi juga menghilangkan modal sosial meliputi sistem peradilan yang rusak, lembaga-lembaga negara tidak efektif, penguasa mementingkan kepentingan pribadi, pemahaman yang kurang terhadap good governance, dan ketidakpercayaan kepada institusi publik.

Kata Bambang Widjojanto (yang baru terpilih sebagai salah satu pimpinan KPK), korupsi juga menyebabkan fungsi dan struktur lembaga pelayanan publik menjadi berbiaya tinggi, menyebabkan marginalisasi ekonomi dan sosial bagi orang miskin, investasi hancur karena tidak bisa berkompetisi. Korupsi juga mendistorsi politik, legislatif dan eksekutif melakukan kompromi-kompromi yang koruptif.

Singkatnya, sebuah generasi bisa musnah karena korupsi. Manusia mati kelaparan karena manusia lain hidup serakah. Alam pun hancur karena perilaku para cowboy ekonomi; mengekploitasi sumber daya alam, tanpa peduli kepada daya dukung alam itu sendiri, dan kepada keberlanjutan kehidupan alam itu di masa-masa mendatang.

Semua ini menampakkan suatu benang merah yang cukup jelas antara HAM dan korupsi; perilaku korup sesungguhnya adalah perilaku melanggar HAM, perilaku yang menghancurkan peradaban manusia, yang sejatinya dapat mengisi bumi ini dengan penuh suka ria selamanya. Namun, hidup kemudian menjadi sangat singkat, karena berhadapan dengan orang perorangan, atau kelompok-kelompok, yang berideologi serakah, meraup keuntungan, rakus serakus serigala liar di tengah hutan tandus.

Bagi Indonesia, keadaan masih sulit dalam dua bidang tersebut. Memang ada peningkatan indeks persepsi korupsi (IPK), namun peningkatan itu sungguh sangat tidak signifikan. Jika tahun 2010 IPK Indonesia adalah 2,8, maka tahun 2011 berada pada angka 3. Artinya, hanya naik 0,2 point saja; sebuah kenaikan yang memunculkan seribu tanya, mengapa sulit memberantas korupsi di negeri ini? Indonesia sama dengan Argentina, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Suriname dan Tanzania.

Tanpa bermaksud meremehkan, namun betapa memalukan sebenarnya bahwa Indonesia yang merupakan negara besar dengan sumber daya manusia dan alam melimpah ini, ternyata sejajar dengan Negara-negara tersebut. Untuk informasi, skala IPK adalah 0-10 (0 berarti sangat korup, sedangkan 10 berarti sangat bersih). Selandia Baru memiliki skor 9.5, terbersih di dunia, dan sekadar membandingkan, Singapore berada di urutan ke-5 negara terbersih di dunia. Indonesia, dengan skor 3 itu, menduduki peringkat ke-100. Kita hanya perlu 85 menit untuk terbang dari Jakarta ke Singapore, namun lihatlah betapa menganganya IPK ke dua Negara itu.

Tatakelola Pemerintahan
Pada dua hari yang merupakan momen penting masyarakat internasional sebagaimana saya sebutkan di atas, perlu rasanya semua pihak, terutama penguasa, untuk berkaca diri atas miskinnya pencapaian yang menjanjikan hari baik bagi kemanusiaan. Kejadian pelanggaran HAM berat dalam bentuk tertentu yang melibatkan aparat penegak hukum atau keamanan, dan birokrasi pemerintahan, memang relatif menurun, namun konteks pemajuan HAM tak hanya sebatas menurunnya jumlah kasus melainkan mengenai sejauh mana sebuah kasus atau kasus-kasus itu diselesaikan di pengadilan, juga pada sejauh mana kasus itu berakhir dengan hukuman kepada pelaku, dan kompensasi kepada korban atau keluarganya. Dan seperti sudah disebutkan, manakala IPK hanya pada skala 3, mengartikan bahwa kejahatan HAM masih sangat dominan di negeri, utamanya dalam konteks hak ekonomi atau hak atas pembangunan.

Jadi, pemerintah atau penguasa dan para politisi, tak ada pilihan lain kecuali kembali kepada penyelenggaraan kekuasaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance--GG (tata pemerintahan yang baik). Selama ini, terlalu banyak pidato mengenai prinsip tersebut, namun miskin implementasi, atau ada implementasi namun tidak komprehensif, padaha sifat kemenyeluruhan ini perlu, sebab hakikat HAM itu tak dapat dibagi atau diwarisi. Jadi, kita ingin pemenuhan hak atas kesehatan, hendaknya dibarengi dengan pemenuhan hak-hak lain, semisal hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, hak atas kehidupan yang layak, hak atas perumahan, hak atas standar hidup yang layak, dan berbagai hak lainnya dalam rumpun hak ekonomi sosial dan budaya, dan hak sipil dan politik.

Impunitas juga masih berlangsung, termasuk dalam kasus di Aceh dan Papua dan beberapa kasus lain di Indonesia. Hak korban masih kerap diabaikan, mereka seperti pungguk merindukan bulan. Di Aceh, masih banyak korban, namun bantuan untuk mereka mulai terengah-engah dan memasuki ketidakpastian. KKR yang diharapkan, sukar diprediksi kapan akan diwujudkan.

Salah satu obat mujarab adalah tata kelola pemerintahan yang baik sebagaimana disebutkan di atas. Sebab problem HAM saat ini bukan lagi pada pengakuan kepada hak, namun pada miskinnya implementasi, pada kemampuan melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill). Prinsip GG memberikan pedoman, agar “melindungi” dan “memenuhi” tadi itu menjadi bagian dari praktek-praktek birokrasi pemerintahan.

Melalui GG, pemerintah dikelola secara demokratis, dengan partisipasi sebanyak mungkin warga negara. Melalui GG, segala sesuatu bertunduk kepada aturan hukum, bukan kepada aturan kekuasaan. Melalui GG, konsensus dikedepankan dibanding kepalan tangan. GG juga mendorong penegakan hukum tanpa diskriminasi, dan karena memudahkan akses masyarakat terhadap keadilan. Dengan GG, pemerintah akan dikelola secara akuntabel dan transparan. Seluruh ciri dalam prinsip GG di atas, jika dikaji dengan teliti, merupakan ciri dari sebuah pemerintahan yang respek kepada HAM, dan dapat membebaskan kekuasaan dan masyarakatnya dari segala bentuk perilaku korup.

* Penulis adalah Direktur Pusat Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Syiah Kuala.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya