Senin, 12 Desember 2011

Melestarikan Bahasa dengan Sastra Lokal

Oleh Hendra Kasmi

“Bertahan atau tidaknya  suatu bahasa sangat tergantung pada pemakai bahasa itu sendiri, “ ungkap Teguh Santoso, Kepala Pusat Balai Bahasa Banda Aceh dalam Pelatihan Pemberdayaan Guru di Gedung BPKP di Lubuk, Aceh Besar,  Sabtu (19/11).  Dalam presentasinya tentang konsep bahasa, beliau mengungkapkan keprihatinannya terhadap nasib Bahasa Aceh ke depan, salah satu bahasa suku yang dominan dipakai di provinsi paling barat ini. Selain bahasa Aceh, masih ada tujuh bahasa lainnya yang telah berakar lama di Tanah Rencong, yakni bahasa Gayo, Aneuk Jamee, Kluet, Haloban, Devayan, Tamiang, dan Alas. Semua bahasa itu yang jika  dilihat dari jumlah penuturnya,  diprediksi tak akan bertahan lama.

Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Aceh rentan punah, di antaranya karena euforia yang berlebihan terhadap bahasa asing. Ini dapat kita jumpai di baliho iklan. Papan nama toko dari gerbang Kopelma sampai pusat kota  terpajang dengan aksara Inggris. Mungkin dengan bahasa yang bergengsi tersebut  pemilik toko atau pemasang iklan ingin menarik perhatian pelanggan.

Kata kata “hospital”,  “house”,  “music” sudah menjamur. Anak-anak muda sering menyelipkan kata-kata Inggris ketika berbicara, misalnya,  “oh my good, by the way,  sorry,”  dan lainnya.   Pengaruh media pendidikan dan teknologi global juga ikut memberikan kontribusi  dalam melumpuhkan akar bahasa asli agar lekas tumbang di kemudian hari. Di ranah teknologi, kita lihat banyak kosakata asing yang diperkenalkan oleh ahli teknologi dari luar seperti website, facebook,  twitter, email, google, dan lain sebagainya. Istilah tersebut telah menambah kosakata baru dalam percakapan sehari-hari. Memang kosakata tersebut jarang yang sudah diserap ke bahasa Indonesia, kecuali ada beberapa kata yang sudah diserap seperti download menjadi unduh, website menjadi laman. Kemajuan teknologi juga berdampak besar bagi perkembangan bahasa dalam sebuah kelompok sosial masyarakat. Fasilitas yang disuguhkan oleh produsen teknologi telah memudahkan segala hal dalam beraktivitas. Mencari bahan kerja atau kuliah tinggal meng-klik google, menawarkan kerja sama dagang dengan klien di luar daerah tinggal mengirim surat elektronik. Karena kehidupan sosial sudah akrab dengan teknologi, maka kosakata yang berhubungan dengan teknologi menjadi dominan pemakaiannya dalam setiap jenjang ruang dan waktu.

Dalam bertutur, supaya  tidak  dianggap kolot atau ketinggalan zaman, kita juga dituntut melafalkan kosakata tersebut secara ideal tanpa perlu bersusah memikirkan bagaimana kosakata tersebut bisa diserap dalam bahasa lokal. Imbasnya adalah banyak kosakata lokal yang memudar pemakaiannya  dalam ranah komunikasi, karena  aktivitas  kita sehari-hari yang dituntut untuk menggunakan media teknologi serbacanggih.

Berkembangnya bahasa asing melalui jalur pendidikan juga berdampak besar pada perkembangan bahasa lokal. BahasaArab dan bahasa Inggris cenderung difavoritkan siswa ketimbang bahasa lokal. Dari penelitian  Pusat Balai Bahasa  bahwa dari keseluruhan sekolah menengah pertama di Aceh Besar,  hanya  sekolah menengah pertama saja yang menjadikan bahasa Aceh menjadi pelajaran  muatan lokal. Sedangkan bahasa Arab menjadi bahasa wajib dalam percakapan sehari-hari di sekolah terpadu Islam dan bahasa Inggris menjadi bahasa wajib di sekolah terpadu unggul.

Lebih miris lagi ketika ada yang beranggapan bahwa bahasa lokal tak perlu dipelajari  lagi, karena bahasa tersebut sudah menjadi bahasa ibu. Jika semenjak lahir sudah diajarkan bahasa Aceh, artinya bahasa tersebut tetap akan berbekas ke mana pun kita pergi atau suatu saat ada bahasa lain yang dominan digunakan. Padahal, bahasa yang ia gunakan sehari-hari adalah bahasa lisan yang tidak terlalu mementingkan struktur kebahasaan seperti pola sintaksis dan unsur ejaan. . Pertama,  huruf vokal dasar /?/, tetapi diucapkan dengan mulut terbuka. Contohnya mantöng (masih), böh (buang). Kedua, vokal Ôô dibaca seperti huruf /o/ dalam kata “soto”, “foto”, “tato”.  Contohnya  bôh (taruh), sôh (tinju), tôh (mengeluarkan). Ketiga, Oo dibaca seperti huruf /o/ dalam kata “tolong”, “bom”. Contohnya boh (buah), soh (kosong), toh (mana). Namun, banyak masyarakat Aceh yang mengabaikan atau meremehkan kaidah kebahasaan seperti ini ketika menulis bahasa Aceh, disebabkan media tulisan jarang digunakan dalam ranah komunikasi masyarakat Aceh.

Berikutnya,  pengaruh penuturan bahasa Indonesia melalui media televisi, buku, dan Internet yang menyebabkan penuturan bahasa asli bercampur baur dengan kosakata bahasa  Indonesia. Misalnya, banyak orang Aceh sekarang lebih mengenal kata pendopo daripada meuligoe, walaupun daripada bahpih, karena daripada saweub dan sebagainya

Banyak hal perlu kita lakukan untuk mengangkat kembali marwah bahasa lokal,  di antaranya  dengan mengadakan kegiatan menulis baik itu pelatihan maupun perlombaan dalam bahasa Aceh. Semua genre tulisan baik cerpen, feature, opini, esai harus ditulis dengan bahasa Aceh yang baik dan benar.  Kegiatan itu dimaksudkan untuk mengingat  kembali kosakata bahasa Aceh yang telah lama tenggelam ditelan arus modernitas. Namun, kita patut bersyukur karena masih ada lembaga pendidikan saat ini yang peduli terhadap nasib bahasa Aceh. Contohnya, lembaga Pascasarjana Unsyiah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra yang baru-baru ini menyelenggarakan Lomba Menulis Cerpen Berbahasa Aceh. Hal ini bisa menjadi teladan bagi lembaga pendidikan lainnya, khususnya lembaga yang memang berkutat dengan masalah kebahasaan seperti Balai Bahasa.

Mungkin bagi pemula ataupun siswa agak kewalahan menulis dengan bahasa Aceh yang baik dan benar. Hal ini wajar terjadi, karena dalam dunia menulis mereka hanya melalui proses pembelajaran Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, tak menjadi masalah jika mereka menulis dengan menggunakan media bahasa Indonesia yang diselingi dengan ungkapan, idiom, pepatah, ataupun pantun berbahasa Aceh. Kegiatan itu bermaksud supaya mereka dapat mengingat kembali nasihat berbahasa Aceh yang populer di zaman dahulu sekaligus mengajak mereka untuk kreatif menulis ungkapan, pepatah, syair Aceh.

Kegiatan lain yang  bisa juga mereka lakukan adalah menulis sejarah  maupun budaya Aceh yang diselingi dengan kosakata-kosakata  berbahasa Aceh. Ini dapat membawa dua keuntungan sekaligus, selain mereka dapat mengingat kembali kosakata yang nyaris lenyap dalam berkomunikasi sehari-hari, juga memperdalam  pemahaman akan sejarah Aceh.

Dalam ranah sastra, banyak kreativitas yang perlu dikembangkan melalui  mediasi bahasa lokal, di antaranya  adalah menggalakkan kembali apresiasi sastra bercorak kedaerahan. Seperti yang kita ketahui bahwa sastra adalah salah satu bentuk apresiasi yang tidak hanya menitik beratkan pada pertunjukan  lakon, tetapi juga naskah seperti syair, hikayat, dan pantun Aceh. Kekuatan kata-kata tulisan sastra jauh lebih ampuh untuk menarik perhatian, menumbuhkan semangat hidup, dan sebagainya. Yang jelas bahasa sastra telah memberikan begitu banyak nasihat kehidupan yang disampaikan dengan tidak monoton.  Jadi, menghidupkan naskah sastra klasik dapat menjadi momentum yang tepat di tengah kakunya bahasa tulis lokal baik lewat pembelajaran maupun di ranah masyarakat.

 Di ranah sekolah, pembelajaran bahasa Aceh hanya berkutat dengan analisis struktur kebahasaan melalui artikel berbahasa Aceh walau diselingi dengan naskah puisi lama namun tetap juga terkesan kering bagi siswa. Oleh karena itu, perlu dikembangkan apresiasi pertunjukan yang lebih unik dan menarik seperti pembacaan hikayat, bercerita dengan bahasa Aceh, pembacaan syair lokal maupun berbalas pantun bahasa Aceh.

Selanjutnya adalah apresiasi sastra modern seperti teater dan musikalisasi dengan menggunakan bahasa lokal juga dapat menjadi masukan walau terkesan agak asing. Wajar saja, karena kedua genre tersebut tidak lahir dari ranah khazanah lokal. Tapi itu bisa menjadi salah satu pendekatan yang mudah diterima  karena genre  itu sangat difavoritkan oleh siswa maupun peminat sastra lainnya.

  Pertunjukan lakon drama bagi pelajar, mahasiswa, maupun seniman lainnya bukanlah hal yang rumit jika mereka telah melewati latihan rasa dan mimik.  Hanya   media penyampaian yang berbeda.

Pasang surut atau punahnya sebuah bahasa sangat tergantung pada kepedulian pemilik bahasa tersebut. Tidak mungkin orang luar menaruh perhatian yang begitu besar pada aset budaya suatu kelompok jika kita sendiri mengabaikannya. Begitu juga dengan pemerintah maupun lembaga kebahasaan harus mempunyai peran besar dalam menggalakkan pemakaian bahasa lokal.

* Hendra Kasmi, alumnus Gemasastrin. Pengajar di IAIN Ar-Raniry dan   SMA IT Al Fityan School.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya