Rabu, 14 Desember 2011

Perempuan ‘Go Public’

Oleh Fatma Susanti

PEREMPUAN merupakan tema yang tidak habis untuk dibicarakan. Bukan hanya persoalan aspek-aspek yang secara inderawi terlihat padanya, namun ternyata permasalahan-permasalahan yang melingkarinya juga tidak pernah surut, bahkan ketika dunia telah bertransformasi dengan segala bentuk perkembangan dan modernitas di berbagai bidang.

Salah satu permasalahan mengenai perempuan yang hingga kini masih menjadi perdebatan tak berujung adalah mengenai posisi perempuan di ruang publik. Meski saat ini tidak sedikit terhitung perempuan yang tidak berpikir panjang untuk terjun bebas ke panggung-panggung publik, namun tidak sedikit juga perempuan yang masih enggan bahkan takut untuk menghacurkan dinding penghalang yang membatasi antara diri mereka dengan ruang publik.

Timbul sebuah pertanyaan berkaitan dengan kondisi ini, apakah memang kaum perempuan sendiri--yang berdasarkan keinginan dari dalam dirinya-membatasi diri dari ruang publik, atau apakah ada faktor lain yang begitu besar dari luar dirinya yang kemudian memenjarakan perempuan untuk hanya berkutat pada ranah domestik.

Ironisnya, ternyata tidak sedikit perempuan yang berpemahaman bahwa kewajiban perempuan memang hanyalah mengurusi sekitaran sumur, kasur, dapur, tidak lebih. Dan parahnya tidak sedikit pula yang mematri pemahaman tersebut kuat-kuat di dalam dirinya sebagai kodrat.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, ternyata pemahaman dan kesadaran tersebut tidak lain disebabkan oleh hasil budaya dan pendidikan yang hingga kini belum mengizinkan perempuan untuk memperoleh kesetaraan di ruang publik. Namun yang semakin membuat aneh adalah ketika agama dijadikan sebagai pengabsah atas pemahaman tersebut.

Sehingga mereka-perempuan-perempuan yang berpartisipasi dan menunjukkan diri di ruang publik--dicap sebagai perempuan-perempuan pendosa, melanggar syariat, dsb. Padahal, jika kita mengkaji secara objektif, Alquran justru mendeskripsikan bahwa Islam merupakan agama yang adil, menghormati bahkan melindungi hak-hak kemanusiaan yang asasi, tanpa adanya pendiskriminasian tertentu terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan. Yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya adalah iman dan taqwanya. Oleh karenanya, perlu dipertanyakan jika ada pihak-pihak yang menginterpretasikan ajaran-ajaran Tuhan demi tujuan pengekangan terhadap perempuan.

Ini bukan persoalan kesetaraan gender atau terjebak pada alur pikir modernis dan liberal di mana perempuan harus memiliki dan melakukan segala hal yang juga dimiliki dan dilakukan oleh laki-laki, apa lagi menempatkan posisi perempuan di atas laki-laki. Tapi mari sama-sama berpikir secara logis dan rasional, apa permasalahan utama yang kemudian mengharamkan perempuan berinteraksi dengan ruang publik? Apakah benar bahwa perempuan memang tidak pantas memiliki akses terhadap ruang publik dan apakah memang akan timbul suatu permasalahan dan mudharat yang sangat besar ketika perempuan menginjakkan kakinya ke luar rumah?

Jika kemudian timbul alasan-alasan bahwa ketika perempuan berada di luar rumah, maka akan membawa kemudharatan seperti timbulnya fitnah, zina, dll yang dianggap dapat menjatuhkan kehormatannya, maka mengapa anggapan tersebut harus dialamatkan kepada pihak perempuan semata? Bukankah laki-laki juga dapat melakukan hal yang sama? Apakah semua keburukan dan kemudharatan yang ada di masyarakat hanya semata-mata disebabkan oleh keberadaan perempuan?

Saya rasa pemikiran seperti ini naif sekali. Mengapa hak perempuan untuk memperoleh akses publik di berbagai bidang harus terpasung selama yang dikerjakan adalah hal yang positif dan selama perempuan dapat manjaga diri, kehormatan dan nama baiknya. Mengapa kemudian nilai seorang perempuan lebih ditentukan pada “seberapa baik ia tersimpan di dalam rumah” dibanding dengan kualitas dan kapasitas diri yang ia miliki. Mengapa perempuan-perempuan yang hanya berdiam diri di rumah dipandang sebagai perempuan-perempuan yang suci dan mulia dibandingkan dengan perempuan-perempuan yang cerdas, mampu menyumbangkan pemikiran-pemikiran brilian bagi masyarakat, berpartisipasi secara publik di bidang politik, bekerja dan mandiri secara ekonomi, menduduki jabatan-jabatan strategis hingga mampu menciptakan perubahan-perubahan positif, justru dianggap sebagai perempuan-perempuan pendosa, padahal mereka justru lebih mampu memberikan kontribusi dan manfaat tak terhingga bagi kemaslahatan masyarakat, bahkan negara.

Gambaran paling mudah dapat kita amati pada kehidupan masyarakat Aceh sehari-hari, perempuan yang melakukan aktivitas di luar rumah dicibir sebagai perempuan yang “hana meuhoe jak”. Mereka dianggap sebagai perempuan-perempuan yang menyalahi kodrat. Berbagai alasan dijadikan sebagai pembenaran, seperti agama tidak menganjurkan perempuan untuk banyak beraktivitas di luar rumah, bahwa mencari nafkah merupakan kewajiban suami, sedangkan perempuan tugasnya hanyalah mengurus rumah tangga dan anak dengan baik, jika perempuan ke luar rumah, maka akan membawa kemudharatan dan merusak kehormatannya, dsb. Benarkah demikian?

Padahal saya yakin, Tuhan memberikan berbagai potensi kepada manusia, tidak terkecuali perempuan, dengan tujuan agar potensi-potensi tersebut dapat diberdayakan seoptimal mungkin sehingga dapat bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama dan negara. Dan saya juga yakin, Tuhan menitipkan segenap pemikiran-pemikiran brilian, segenap tenaga dan kekuatan bagi perempuan, bukan untuk dikekang dan dipasung. Karena sesungguhnya, perjuangan dan perubahan fundamental yang telah terjadi di dunia ini takkan pernah berhasil tanpa adanya kontribusi dari kaum perempuan, diakui ataupun tidak.

Dengan memotong akses perempuan terhadap ranah publik, sesungguhnya sama saja dengan telah melakukan pembodohan terhadap sejarah, bahkan termasuk sejarah Islam dan Aceh sendiri, karena dunia sudah sangat banyak mencatat nama tokoh-tokoh perempuan dengan tinta emas atas jasa-jasa yang telah mereka lakukan di ranah publik bagi kemaslahatan umat manusia. Dan dunia saat ini pasti akan berkembang jauh lebih pesat ketika semua perempuan di dunia ini menyadari betapa besar potensi yang ia miliki lalu memberdayakannya dengan terus meningkatkan kapasitas dan kualitas diri dan mengaplikasikannya dengan berpartisipasi ke ruang-ruang publik lalu menciptakan perubahan-perubahan besar. Sudah saatnya perempuan go public!

* Penulis adalah Mahasiswa FKIP PKN Unsyiah.

Editor : hasyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya