Senin, 12 Desember 2011

Transmigrasi Indonesia 61 Tahun

Oleh Nurdin F Joes

HARI ini 12 Desember 2011. Transmigrasi di Indonesia genap mencatatkan usianya yang ke-61. Di seluruh negeri Republik Merah-Putih ini, insan transmigrasi baik itu warga transmigran yang tersebar di berbagai desa dalam wilayah unit permukiman transmigrasi (UPT), para pegawai di jajaran Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, maupun dinas dinas yang mengelola ketransmigrasian di daerah, merenungkan hari bersejarah transmigrasi. Umumnya, renungan dan rasa syukur ini dibalut dalam sebuah upacara bendera memperingati hari bakti transmigrasi (HBT) yang sudah berusia lebih setengah abad.

Dari sejarah yang ada, transmigrasi di Indonesia dimulai saat Pemerintah RI secara terkoordinasi memberangkatkan atau memindahkan 23 KK (77 jiwa) warga masyarakat Sukadana Kecamatan Begelen Jawa Tengah menuju Gedong Tataan Kerisidenan Lampung di utara Kota Tanjungkarang, Sumatra.

Peristiwa perpindahan penduduk pertama ini, terjadi pada 12 Desember 1950. Tanggal ini pula kemudian ditetapkan sebagai hari bakti transmigrasi (HBT) yang setiap tahun diperingati sebagai bentuk rasa syukur insan transmigrasi kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Sebelumnya, memang banyak dilakukan pemindahan penduduk, umumnya asal Pulau Jawa ke berbagai daerah di Indonesia untuk dipekerjakan di berbagai perusahaan, terutama perkebunan. Perpindahan penduduk waktu itu dilakukan Belanda, dan fase ini disebut kolonisasi. Perpindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa oleh Pemerintah RI baru dilakukan secara terkoordinasi tahun 1950, dan menjadi tahun lahirnya program transmigrasi.

Sejarah transmigrasi Aceh
Sementara itu untuk Aceh, program transmigrasi dimulai 1964. Dan, kini transmigrasi di daerah ini berusia 47 tahun. Sejarahnya dimulai dengan menempatkan 100 KK warga transmigran di Blang Peutek Padang Tiji Kabupaten Pidie. Namun, warga transmigran di kawasan kaki Gunung Seulawah itu tidak bertahan lama. Ini disebabkan, karena setahun kemudian, 1965, terjadi tragedi nasional dengan meletusnya peristiwa G-30-S/PKI di Indonesia. Program transmigrasi di Pidie itu pun bubar. Lalu, sejumlah warga transmigran di situ meninggalkan UPT Blang Peutek, dan mereka pun eksodus dan mencari penghidupan baru di Saree Aceh Besar. Sebagian di antaranya bahkan bekerja di PT Socfindo di Aceh Barat. Dan, sebagian lagi berpindah ke Sigli dan menjadi masyarakat Pidie.

Menurut catatan yang ada, Kepala Kantor Unit Perkiman Transmigrasi (Ka.KUPT) di Blang Peutek bernama Junaidi. Karier kepegawaiannya tercatat pernah menjadi Kakanwil Departemen Transmigrasi (Deptrans) Jawa Tengan pada 1990 dan Karo Kepegawaian Deptrans Pusat 1996.

Transmigrasi di Aceh, setelah Blang Peutek, tidak lantas berhenti. Pada 1973 pembukaan kawasan baru pun dirintis di Aceh Utara. Lalu, pada tahun 1975/1976 program transmigrasi kembali hadir di Aceh dengan ditempatkan 300 KK warga transmigran di Cot Girek. Iskandar Hoesin merupakan Ka KUPT dan merangkap pimpro pertama di kawasan itu. Iskandar Hoesin pernah menjadi Kakanwil Deptrans Aceh, Ketua Umum Persiraja Banda Aceh, Kakanwil Deptrans Kalbar, dan pernah mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh. Dia juga pernah menjadi pejabat eselon I di Kementerian Hukum dan HAM semasa Hasballah Saad menjadi Menteri Hukum dan HAM.

Makarti Muktitama
Bermodal dukungan dan pemberian pemerintah berupa lahan perkarangan (LP) seluas 0,25 Ha, lahan usaha 1 (LU-1) 0,75, Ha, dan LU-2 seluas 1 Ha, ditambah bantuan lainnya, antara lain berupa jaminan hidup (jadup), transmigran memacu diri melawan kerasnya tantangan alam untuk membangun hidup yang lebih baik.

Dengan moto Departemen Transmigrasi, “Makarti Muktitama” yang artinya “bekerja keras meraih kemakmuran”, ternyata umumnya dalam waktu tidak terlalu lama, warga transmigran dapat menyejahterakan diri dan keluarganya melalui kerja yang sangat keras. Kerja keras mereka telah melahirkan sentra sentra produksi dan ekonomi baru di berbagai kawasan di Indonesia, termasuk di Aceh.

Tumbuhnya Sentra Ekonomi Baru
Ketransmigrasian di Aceh telah memacu lahirnya sentra sentra produksi dan sentra ekonomi baru. Ini adalah dampak sangat positif akibat keterpaduan pembangunan multisektor di sebuah daerah. Lahirnya kawasan ekonomi Patek Aceh Jaya, Jantho Aceh Besar, Jagong Jeget Aceh Tengah, Trumon Aceh Selatan, Peunaron Aceh Timur, Subulussalam Kota Subulussalam, dan lain-lain merupakan kemajuan akibat hentakan pembangunan transmigrasi di berbagai kawasan itu.

Daerah daerah yang dahulu masih terisolasi, menjadi terbuka dengan adanya berbagai terobosan pembangunan di kawasan transmigrasi. Jadi, transmigrasi menjadi salah satu alternatif untuk menguak isolasi daerah.

Bangsa besar ini sangat menyayangkan, bahwa hentakan konflik yang melanda Aceh, sungguh telah membuat mundur transmigrasi di daerah ini. Kawasan transmigrasi yang sudah maju itu pun kemudian meredup. Warga transmigran pun banyak yang harus berangkat meninggalkan tanah harapan itu. Mereka umumnya, kemudian menjadi eksodan (masyarakat eksodus) asal Aceh, dan hidup terlunta lunta di sepanjang Sumatra. Yang lebih beruntung, sebagian dari mereka dapat kembali ke daerah asalnya di Jambal (Jawa, Madura, Bali, dan Lombok) setelah menjadi transmigran di bumi Aceh. Mereka yang sudah mapan di daerah transmigrasi pun kembali meratapi nasib pedih yang harus dideritanya akibat konflik.

Akibat konflik itu pula, kita semakin jarang menerima berton-ton jeruk asal Patek yang diangkut ke berbagai pasar di Aceh. Berbagai komoditas lain asal kawasan transmigrasi pun semakin tidak kita dapatkan di pasaran. Lalu, ketergantungan kita pun semakin terjadinya dengan daerah lain.

Menjaga Damai
Saya kira semua kita tetap berkeinginan agar damai Aceh tetap terus terpelihara. MoU Damai Helsinki mesti dipegang kuat kuat agar tidak lagi terlepas. Jangan ada lagi yang dapat terseret kepada provokasi suku Aceh dan Jawa serta berbagai suku lainnya untuk mengeruhkan kedamaian tanah “endatu” ini.

Hari ini Aceh sudah sangat damai. Kedamaian harus terus terjaga meski pilkada sudah di depan mata. Bagi masyarakat, tentu tidak penting siapa yang terpilih menjadi gubernur, bupati, dan walikota. Juga menjadi tidak penting siapa yang menjadi anggota legislatif dalam Pileg mendatang. Rakyat hanya membutuhkan kedamaian berkelanjutan agar dapat membangun kehidupan dan kesejahteraannya.

Kita juga mesti meyakini “bangsa” Aceh setara dengan suku suku bangsa lainnya di seluruh dunia. Bangsa Arab pun tidak menjadi lebih baik di mata Tuhan. Perbedaannya hanya pada nilai takwa. Jadi “asoe lhok” (kaum anshar), dan “ureueng tamong” (kaum muhajirin) bernilai sama. Yang penting seluruh komponen masyarakat dapat hidup dengan baik dan bermanfaat bagi lingkungannya melalui kerja keras dan dengan nilai nilai taqwa yang sempurna.

Kuncinya, mari kita pelihara kedamaian. Dengan kedamaian ini pula, hari ini insan transmigrasi dapat menyukuri nikmat Tuhan melalui sebuah upacara HBT ke-61.

* Penulis adalah PNS, kini bekerja di Kantor Gubernur Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya