Selasa, 03 Januari 2012

Namaku Jufrizal, di Cina jadi Fujia

Jufrizal
Adalah mahasiswa Aceh di Nanchang University-China


PERTENGAHAN September 2011, pertama kali saya mengikuti ujian kemampuan dasar bahasa mandarin di Nanchang University, saya hanya bisa menghela nafas panjang seperti menghirup udara di ruang hampa. Hal serupa juga dirasakan oleh tiga teman saya dari Aceh waktu itu.

Sore itu, di ruangan kelas berkumpul mahasiswa internasional penerima beasiswa dari pemerintahan Cina sedang serius mengerjakan soal ujian kemampuan dasar bahasa mandarin. Saya hanya bisa tersenyum lebar melihat lembaran soal. Semua soal ditulis dengan menggunakan bahasa Hanzi (bahasa simbol), tak ada huruf abjad satupun di lembaran soal.

Hasil ujian ini menentukan kami untuk mengisi kelas-kelas belajar bahasa mandarin selama satu tahun di Nanchang University. Ada empat tingkatan kelas bahasa diperuntukkan bagi mahasiswa asing. Dari sekian banyak penerima beasiswa mahasiswa internasional, hanya dari Aceh sejak awal belum pernah mendapatkan pendidikan dasar bahasa mandarin. Dan akhirnya kami ditempatkan di kelas dasar.

Di kelas dasar, ada juga dari teman Semarang dan Makasar serta negara lainnya. Seorang teman dari Makasar mengatakan pada saya, pemerintahan daerahnya sangat merespons positif dengan keberadaan lembaga pendidikan bahasa mandarin. Di kampus mereka saja ada lembaga bahasa mandarin. Selain itu, ada sebagian sekolah-sekolah di Makasar ada mata pelajaran pendidikan bahasa mandarin.

Mendengar penjelasan dia, memberikan pemahaman dalam benak saya. Kalau dipikir-pikir, Aceh sangat tertinggal dalam dunia pendidikan. Mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi di Aceh.

Saya dan ke tiga teman saya pun lulus seleksi beasiswa dari pemerintahan Cina setelah mengikuti seleksi dari pemerintahan Cina dan berkat rekomendasi dari Pembantu Dekan IV Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry, Abdul Rani Usman. Dia juga Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin-Aceh (BKPBM-Aceh).

Setelah tiba di Cina, saya baru tahu ternyata pemerintahan Cina sangat merespons dan memberikan apresiasi positif kepada lembaga pendidikan di luar negeri yang memiliki tujuan memperkenalkan budaya dan bahasa mandarin di negaranya.

Siang itu, Kamis 29 Desember 2011, saya baru saja mengikuti ujian semester kuliah bahasa mandarin. Pada ujian kali ini, saya tak mematung seperti patung duka cita saat ujian pertama kali penentuan kelas bahasa mandarin. Sebagian soal dalam huruf hanzi, sudah saya pahami, ya walaupun masih banyak kekurangan.

Pada suatu ketika ujian chinese character ada kejadian lucu terjadi di kelas. Saya lupa-lupa ingat bagaimana tulisan nama saya sendiri dengan huruf hanzi. Seketika itu saya bergegas maju ke depan mengambil kartu mahasiswa di dalam tas. Ya setiba di Cina semua mahasiswa internasional diharuskan memiliki nama Cina. Nama Cina saya adalah Fujia.

“Fujia, untuk apa kamu mengambil kartu mahasiswamu di dalam tas,” ujar Mrs. Wang. Dia adalah pengasuh mata kuliah chinese character, dan juga Pembimbing Akademik (PA) saya di Nanchang University.

“Laoshi, saya lupa bagaimana tulisan nama saya sendiri,” jawab saya polos.

Seketika, suasana serius mengerjakan soal ujian menjadi pecah dengan gelak tawa dari teman-teman saya  di kelas siang itu. Maklum saja, tuk bisa menulis dan membaca dalam bahasa mandarin bagi pemula harus bisa mengingat 3.000 karakter huruf hanzi. Dan ini bukan perkara mudah, selain itu banyak aturan intonasi pengucapannya lagi.

Salah-salah intonasi pengucapan, bisa salah makna dari kata-kata yang kita ucapkan nantinya. Tapi saya yakin, sesulit apapun tantangan yang saya alami pasti ada hikmat dipenghujung nantinya. ***
--------------
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com

Editor : arif

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya