“Sekarang air di daerah kami mati, tetapi hidran terus bertambah. Sehari kami membutuhkan 10 pikul air, sepikulnya Rp 2.000. Jadi pengeluaran per bulan saya untuk air sangat besar,” kata Sumiarti, warga Muara Baru, Jakarta Utara.
Banyak masukan serupa yang disampaikan ibu setengah baya tersebut: mulai dari mahalnya harga air, pelayanan yang tidak memuaskan, hingga masalah kontrak pengelolaan air antara PAM Jaya dan kedua mitranya, PT. Palyja dan PT. Aetra.
Mahalnya harga air di Jakarta dan kontoversi kerja sama pengelolaan air bersih mendorong Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta membuat sebuah pertemuan “Warga Jakarta Bicara Air” pada Selasa (21/2) lalu.
“Air adalah bagian dari hak untuk hidup. Dalam konstitusi kita hak untuk hidup tidak boleh dikurangi untuk hal apapun—Pasal 28i—dan tugas negara adalah untuk melindungi,” kata Maruarar Siahaan, mantan hakim konstitusi RI.
Menurut Maruarar, masalah perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak atas air warga adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Namun terkait kontrak pengolahan air, hal tersebut merupakan implementasi Undang-Undang. Pada tahun 2007, Mahkamah Konstitusi “membolehkan” privatisasi air via UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air—dengan catatan pemerintah yang harus mengatur dan menentukan agar hak asasi warga tak dilanggar.
“Seharusnya waktu itu Gubernur DKI Jakarta bisa melihat aksi apa setelah melihat keputusan MK,” lanjut Maruarar. Saat keputusan itu dibuat, masalah ini belum jadi masalah besar bagi kota Jakarta. Pertengahan 2007 adalah masa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), perhelatan politik yang tak menyebut-nyebut soal runyam dan peliknya air bersih.
Menurut Zainal Abidin, anggota Serikat Pekerja Air Jakarta, harus ada solusi politik untuk masalah air di ibu kota. “Air di Jakarta adalah yang termahal di Asia Tenggara. Pengelolaannya amburadul. Konyolnya, Pemda DKI tak bisa,” ujar dia. Ia pun melanjutkan, “Yang saya yakini, Presiden me-rebalance kontrak dengan serius.”
Tapi apakah masalah pengelolaan ini sebegitu penting hingga harus ditangani langsung oleh presiden? Kenaikan imbalan air yang akan berujung pada kenaikan tarif—melalui perhitungan yang dinamakan rebasing—sudah berlangsung. Perhitungan ini menyulut kontroversi. Di sisi konsumen, harga meroket dan mencekik pelanggan. Di sisi lain, banyak kejanggalan hingga merembet ke dugaan korupsi.
“Kita juga harus mengajak gubernur untuk proses rebasing kontrak. Agar bagus, kita harus menanyakan kepada KPK karena potensi kerugian yang digambarkan sebesar Rp 18 trilyun,” pungkas Zainal. Angka yang disebut Zainal didapat dari Mauritz Napitupulu, eks Direktur Utama PAM Jaya yang diberhentikan tahun lalu.
Gubernur Fauzi Bowo berencana menarik pipa dari Waduk Jatiluhur pada tahun 2012 ini. Hingga detik ini, rencana tersebut tak jelas juntrungannya. Yang terbaru adalah rencana pengolahan Kali Ciliwung menjadi air bersih, yang juga dikerjasamakan oleh PAM Jaya bersama Palyja dan Aetra. Dengan teknik ultrafiltrasi ini, harga air bersih bisa didistribusikan sekitar Rp 2.000 per liter (bandingkan dengan rata-rata harga saat ini yang senilai Rp 7.800 per meter kubik—atau Rp 78 per liter).
Sementara untuk renegosiasi kontrak (dengan harapan rebalancing) belum ada pemutakhiran dari pihak Bang Foke. Namun dalam beberapa tahun belakangan, Pemda DKI menahan agar harga air tak naik.
Tahun ini adalah tahun politik untuk DKI Jakarta, karena Pilkada akan digelar pada Juli 2012. Solusi yang ditawarkan untuk masalah air bersih pun menjadi sangat penting. Konsumen dan warga Jakarta, terutama yang terus-menerus didera masalah ini harus mulai memperhatikan visi dan misi calon yang bakal tampil.
Pada perhelatan “Warga Jakarta Bicara Air”, Wanda Hamidah, salah satu calon gubernur DKI Jakarta berkesempatan hadir. “Tidak ada pilihan lagi, kita harus merenegosiasikan air. Secara umum ini juga dialami di berbagai belahan daerah di Indonesia,” ujar dia.
Ia menyatakan perjuangan untuk memutuskan kontrak atau merenegosiasikan bukan perkara yang mudah. “Namun perjuangan saya tak akan putus. Banyak yang tidak tahu bahwa mereka (konsumen) membayar yang tidak sesuai dan kerugian Negara untuk ini menjadi utang,” lanjut Wanda.
Sayangnya, calon lain tak datang ke acara tersebut.
Warga Jakarta terus menanti solusi masalah air di ibu kota. “Masyarakat Jakarta pun tak bisa hanya berpangku tangan,” kata Muhammad Reza, Koordinator Advokasi Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA). “Banyak aktivitas yang sudah kita rancang dalam koalisi seperti diskusi komunitas, pelaporan tindak korupsi, dan petisi,” ujar dia.
Komite Pelanggan Air Minum di Jakarta (KPAM), salah satu organisasi konsumen air bersih juga bergerak. Organisasi ini sehari-harinya memantau kondisi pelayanan air minum di lapangan, juga mencatat dan melaporkan kasus-kasus terkait pelayanan air bersih di lapangan.
Bagaimana dengan kota Anda? Apakah Anda sudah bisa mendapatkan air dengan mudah dan murah?
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya