Kamis, 12 Januari 2012

Aceh, Sesuatu Banget

Oleh Mashudi SR

ACEH kembali menyita perhatian para petinggi negeri yang ada di pusat pemerintahan. Serangkaian peristiwa kekerasan mematikan yang terjadi di awal tahun ini, seperti berhasil menginterupsi proses pemerintahan yang sedang dikendalikan dari Jakarta. Tidak hanya jajaran pejabat eksekutif yang dibuat sibuk, politisi Senayan pun “dipaksa” melirik situasi terkini Aceh.

Proses demokratisasi Aceh yang diwarnai aksi memprihatinkan ini seakan menjadi pelengkap atas beragam peristiwa kekerasan menimpa negara di tahun baru ini. Atas nama pemenuhan ambisi pribadi dan kelompok dengan motif ekonomi dan politik, pembunuhan anak manusia pun dilakukan. Cara-cara primitif ternyata masih digunakan oleh segelintir manusia yang lahir dan dibesarkan di era modern ini. Anehnya, negara seperti tidak berdaya menghadapi orang-orang yang terlibat dalam aksi bar-bar ini.

Tragedi kemanusiaan Aceh yang menyebabkan enam orang meninggal dunia, sesungguhnya bukan peristiwa baru. Sepanjang tahun 2011 lalu beberapa aksi berbau mesiu, baik penembakan maupun pelemparan granat telah sering terjadi. Tidak banyak informasi yang diperoleh masyarakat, siapa dalang, pelaku dan apa motif dibalik serangkaian aksi tersebut. Aparat kepolisian tidak pernah pula secara tuntas membongkar kasus-kasus ini. Sulit menemukan kata tegas dari kepolisian, mana dari serangkaian kejadian itu yang murni kriminal dan sebaliknya. Sama sulitnya mendapatkan informasi sejauh mana proses pengungkapannya telah dilakukan.

Kisruh pilkada
Karena itu, ketika aksi penembakan mematikan di malam tahun baru terjadi, publik terhenyak. Kisruh pilkada Aceh ternyata tidak sekadar diramaikan dengan perang argumentasi dan aksi demonstrasi sebagaimana sering terjadi di banyak daerah lain. Tetapi juga turut diiringi dengan aksi penembakan masyarakat dari suku tertentu. Gangguan keamanan menjelang pilkada tidak lagi bisa dianggap sebagai peristiwa yang biasa-biasa saja dan berdiri sendiri. Bagaimanapun proses sirkulasi pucuk pimpinan provinsi dan 17 kabupaten/kota yang dimulai pertengahan tahun 2010 lalu, dengan semua karut-marutnya, tidak bisa dikesampingkan begitu saja.

Itulah sebabnya, kematian enam korban penembakan dan kembalinya banyak pekerja yang berasal dari luar Aceh ke daerah masing-masing, menarik perhatian elit-elit Jakarta, termasuk media nasional. Beragam media berskala nasional mulai ramai memberitakan provinsi paling ujung Barat pulau Sumatera ini. Bukan kesuksesan, tetapi kekisruhan politik yang diciptakan elit-elit politik lokal yang sedang mabuk kekuasaan.

Proses pemilihan kepala daerah mulai mengancam usia perdamaian yang masih sangat belia. Sukar untuk tidak mengaitkan rentetan aksi penembakan, pemotongan tower listrik milik PLN dan tower Telkom, dengan situasi politik terkini. Pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Kemanan setidaknya memberi kepastian kepada masyarakat bahwa ada keterkaitan aksi biadab ini dengan pilkada Aceh.

Proses demokratisasi Aceh memang masih berada dalam tahap transisi. Tahapan pilkada yang sedang berlangsung menjadi bagian dari proses tersebut. Karena itu ketika hajatan demokrasi lima tahunan ini mengalami gangguan yang memakan korban jiwa, ia tidak lagi bisa disikapi dengan cara biasa. Sebab, bagaimanapun, semua berkepentingan memastikan proses pemungutan suara tidak berakhir dengan pertumpahan darah. Semua ingin mengawal kemajuan demokrasi tidak berbalik menjadi konflik horizontal yang (sengaja) diciptakan oleh pihak-pihak yang kepentingannya tidak tercapai.

Menarik perhatian
Cerita kebuntuan politik pilkada hanya sedikit dari banyak kisah terjadi di bawah kolong langit Aceh yang menarik perhatian masyarakat luas. Beberapa waktu lalu, misalnya penertiban sekaligus pembinaan terhadap komunitas Punk yang mulai tumbuh, mendapat sorotan media dalam dan luar negeri. Kebijakan pemerintah daerah berbasis syariat Islam ini, menimbulkan gelombang protes sebagai bentuk aksi solidaritas yang ditunjukkan komunitas Punk nusantara dan mancanegara. Bagi mereka langkah pemda Aceh dianggap “lebay” dan melanggar kebebasan individu untuk berekspresi.

Penerapan nilai dan norma syariat Islam dalam bentuk qanun juga tidak sepi dari perhatian publik. Masyarakat nusantara tersentak kaget tatkala hukuman cambuk diberlakukan. Desakan agar model penerapan syariat Islam yang mengedepankan perspektif penghukuman ini ditinjau ulang mengalir deras. Model semacam ini dianggap tidak relevan diterapkan di tengah kehidupan manusia yang semakin beradab karena mengabaikan Hak Asasi Manusia.

Dua peristiwa penting lain yang menyedot perhatian masyarakat dunia dan tidak pernah dilupakan adalah konflik bersenjata selama tiga dasawarsa yang berakhir damai dan bencana alam gempa bumi disusul tsunami 2004 yang meluluhlantakkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh dengan ratusan ribu nyawa yang hilang.

Mengundang perhatian
Dua peristiwa yang menyentuh rasa kemanusiaan itu melahirkan optimisme dalam membangun Aceh yang lebih baik. Tentu tidak semua persoalan yang ditimbulkan dua kejadian ini bisa diselesaikan tuntas dalam waktu yang singkat. Konflik kemanusiaan yang berakhir damai masih menyisakan problem keadilan bagi korban konflik. Demikian pula proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami masih meninggalkan masalah, utamanya penyelesaian transfer aset yang bernilai triliunan rupiah.

Beberapa cuplikan persoalan di atas memperlihatkan betapa Aceh selalu berhasil mengundang perhatian masyarakat luas. Bahkan jauh sebelum bangsa ini lahir pun sesungguhnya Aceh pernah menjadi salah satu pusat perhatian dunia dengan kemasyhuran yang dimiliki di bawah penguasa Sultan Iskandar Muda. Indonesia sendiri begitu jatuh cinta kepada Aceh dan menjadikannya sebagai modal menuju kemerdekaan yang dicita-citakan.

Menariknya, saat ini ada yang menyebut, Aceh sesuatu banget. Frase sesuatu banget milik artis yang sedang naik daun, Syahrini ini, tentu saja bukan untuk memuji dengan makna positif, sebagaimana Syahrini mengekspresikan sikapnya terhadap sesuatu dengan menyebut alhamdulillah ya... sesuatu banget. Tetapi ingin menyatakan keheranan terhadap persoalan Aceh terkini yang seperti sengaja diciptakan oleh elit-elit masyarakat Aceh sendiri.

Aceh memang mendapat tempat dan perlakuan khusus dalam negara kesatuan Indonesia ini. Harapannya agar daerah ini bisa ditatakelola secara bebas olah masyarakatnya sesuai dengan nilai dan budaya yang dimiliki. Karena itu ketika proses demokratisasi Aceh berlangsung, masyarakat luar hanya menjadi penonton sambil berharap hasil yang terbaik.

Celakanya, elit-elit politik lokal Aceh gagal mengelola demokrasi yang dibangun sendiri dengan cara-cara demokratis. Alih-alih mengundang simpati, yang muncul ungkapan sinis ketika menyaksikan akrobat politik politisi lokal yang begitu banal. Aceh memang sesuatu banget!

* Penulis adalah Aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya