Kamis, 12 Januari 2012

Penyakit Konsumerisme

Oleh Jabal Ali Husin Sab

BUDAYA konsumersme, satu penyakit sosial yang berpotensi menciptakan masyarakat individualis dan materialistis, bahkan mengarah ke hedonisme, kini mengancam masyarakat Aceh. Hal ini ditandai dengan adanya sekelompok masyarakat yang aktif mengonsumsi produk-produk mewah sebagai sebuah prestise dan kehormatan.

Ironis ketika budaya baru yang identik dengan kemewahan ini muncul di daerah yang masih tertinggal dan penduduknya relatif belum sejahtera. Bahkan, sekitar 19,57% masyarakat Aceh tergolong miskin, di atas rata-rata nasional yang tingkat kemiskinannya tercatat hanya 13,33% (BPS, 2011). Aceh juga masih berada di peringkat ketujuh sebagai daerah paling tertinggal, merujuk pada data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014.

Munculnya budaya konsumerisme di tengah masih banyaknya persentase masyarakat miskin menandakan adanya kesenjangan ekonomi. Kesenjangan ini muncul karena kegagalan pemerintah dalam proses distribusi kekayaan. Kebijakan pemerintah yang kapitalistik telah menutup ruang bagi pemerataan kekayaan. Kekayaan hanya menumpuk pada kelompok-kelompok pemilik modal dan masyarakat yang tidak memiliki kekuatan kapital menjadi sangat sulit menembus dinding kesejahteraan.

Dalam masyarakat yang terpisah oleh kelas-kelas ekonomi, masyarakat kelas atas dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi berusaha untuk menunjukkan identitas dirinya dan mempermudah identifikasi satu sama lain dengan tampil eksklusif. Berpenampilan mewah adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan identitas diri dan mempermudah mengidentifikasi satu sama lain.

Sistem konsumsi menjadi sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan. Sistem produksi ditentukan oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan (Baudrillard, 1970 : 47).

Dalam proses perwujudan identitas tersebut, kelompok masyarakat kelas atas menjadi konsumen besar bagi pasar, yang telah menyediakan berbagai produk dengan nilai dan harga yang relatif mahal menjadi pilihan utama. Dalam kesempatan yang sama, pasar memanfaatkan peluang ini dengan melancarkan promosi besar-besaran di media.

Seiring dengan tingginya frekuensi akses pasar oleh kalangan kelas atas, maka semakin besar kesempatan pasar untuk menciptakan hubungan ketergantungan akan penggunaan produk. Gaya hidup public figure nasional dan internasional, juga ikut menyihir masyarakat untuk berlomba menghambur-hamburkan uangnya demi sebuah pengakuan status sosial.

Selain melibatkan pasar dan media, proses penyebaran budaya konsumerisme melibatkan agen-agen yang berasal dari masyarakat. Para “agen perubahan” ini tampil mewah, saling mengenal dan menciptakan sebuah kelompok karena kemewahan yang dimiliki. Kelompok ini dikenal dengan nama sosialita.

Kaum Sosialita
Sosialita memiliki makna literal sebagai individu yang berpartisipasi dalam aktifitas sosial dan menghabiskan banyak waktu untuk menghibur dan dihibur dalam acara-acara masyarakat kelas atas yang fashionable (Reverso Dictionaries, 2010). Diawali pada abad ke 19 di Amerika Serikat, dikenal sebuah daftar yang berisi sekumpulan nama orang-orang kaya dan terhormat yang disebut dengan Social Register. Dalam kelompok inilah kaum Sosialita saling mengenal antar sesama mereka dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial yang dikemas dengan hiburan-hiburan, mereka sangat dekat dengan dunia fashion, dan ini terbukti dengan penampilan para anggota kelompok ini yang terkenal mewah.

Maraknya budaya konsumerisme di Aceh tidak terlepas dari kaum sosialita yang ada. Kaum ini sering terlihat di ajang-ajang sosial yang diadakan di hotel berbintang. Keberadaan kelompok inijuga dapat dijumpai di resepsi perkawinan yang digelar. Dengan pakaian dan perhiasan yang mencolok cukup menarik perhatian, para sosialita ini tampil bak artis lokal. Kaum ini tampil sebagai trend setteryang banyak mempengaruhi gaya berpakaian masyarakat. Mungkin karena sering bepergian ke luar daerah bahkan luar negeri, gaya berpakaian mereka menjadi panutan karena dianggap merupakan gaya terkini yang sedang populer. Tidak jarang pakaian dan perhiasan yang mereka kenakan menjadi bahan pembicaraan para hadirin yang melihat. Bergaya seperti kalangan ini telah menjadi idaman kebanyakan orang.

Ketika penampilan sosialita telah menjadi idola masyarakat, secara tidak langsung akan mendorong masyarakat untuk  ikut konsumtif. Bahkan mendorong masyarakat yang berbeda kemampuan ekonomi untuk memaksakan diri demi sebuah pengakuan publik. Masyarakat berpotensi mengalami distorsi pemahaman akan kebutuhan dan mengarah ke pemborosan. Gaya hidup ini menempatkan kesenangan diatas segala-galanya sehingga berpotensi menciptakan masyarakat yang hedonis.

Efek yang paling berbahaya dari budaya konsumerisme adalah bergesernya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sesuatu yang berorientasi materi dipandang lebih baik daripada sesuatu yang berorientasi nilai. Semangat persaudaraan dalam masyarakat Acehjuga terancam oleh sikap individualis yang disebabkan oleh budaya konsumerisme. Semangat kesetaraan juga terkikis dengan kelas-kelas sosial yang terbentuk. Sebuah situasi yang akan mengubah secara signifikan struktur sosial yang ada ke arah yang mengkhawatirkan, tentu hal ini patut diwaspadai dan harus segera ditanggulangi.

Islam memberikan sebuah langkah preventif terhadap budaya konsumerisme dengan menganjurkan hidup sederhana. Kesederhanaan dan kepatutan yang ditawarkan menjadi batas-batas dalam menata kehidupan. Hidup sederhana menjadi proteksi awal guna mencegah terjangkitnya penyakit konsumerisme.

* Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unsyiah, pegiat di Institute for Development and Empowerment of Acehnese Student (IDEAS).

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya