Selasa, 03 Januari 2012

Cara Orang Jerman Merayakan Tahun Baru

TAHUN baru disambut suka cita yang luar bisa oleh masyarakat Jerman. Termasuk di sebuah kota saya tinggal, Dresden. Sungai yang melintasi wilayah Eropa, Elbe namanya, selalu menjadi sentra perayaan. Sungai yang menjadi kebanggaan masyarakat, lambang keberuntungan, dan kejayaan.

Sebagaimana saya saksikan pada akhir tahun lalu, orang datang berduyun-duyun ke sana, tua muda, pria wanita. Kebanyakan mereka datang bersama kekasih, teman, atau keluarga.

Orang-orang telah membeli beraneka jenis kembang api beberapa hari sebelumnya. Mereka membawanya ke sana menggunakan ransel atau tas besar, begitu banyaknya bahan yang dipersiapkan. Sebagian yang lain datang hanya sebagai penonton, rata-rata pelajar dan mahasiswa dengan keterbatasan uang saku.

Menjelang tengah malam, mulai pukul 10, orang-orang makin berdesak-desakan berkumpul mencari tempat sedekat mungkin dengan Sungai Elbe. Sekitar sungai, khususnya di kawasan wisata Altstadt (kota tua) menjelma jadi lautan manusia. Seramai apa pun orang-orang berkumpul, meskipun rata-rata menenteng botol bir atau minuman keras lainnya, tak sedikit pun terjadi kericuhan, perkelahian, maupun tawuran. Semua berjalan tertib.

Dengan menghadap ke arah sungai, para pembawa kembang api mulai beraksi. Mula-mula hanya “pemanasan” dengan beberapa kembang api sederhana. Bersahut-sahutan dari satu sudut ke sudut lainnya. Seakan itu adalah bel pertanda pesta sedang dimulai. Masing-masing membuka botol bir pertama mereka.

Dentuman keras bertubi-tubi, diikuti pecahan kembang mekar di langit. Pantulan percikan cahaya warna-warni terlihat meriah di dalam air. Langit bertubi-tubi memekarkan kembang-kembang. Semakin larut malam, kembang api kian banyak. Di asrama mahasiswa, di malam tahun baru terdapat pengecualian dari peraturan asrama yang tidak boleh melakukan aktivitas menyangkut api di balkon. Para mahasiswa bersuka cita dengan membakar kembang api berbagai jenis. Di rumah-rumah penduduk juga tak kalah meriah. Orang-orang seakan bekerja selama setahun hanya untuk membakar duitnya di malam itu.

Ambulans siap siaga di jalan-jalan, ditambah patroli polisi di mana-mana. Tak jarang sirene ambulans meraung-raung keras membelah malam di antara desingan mercon. Saya memantau dari balik jendela kamar di lantai 7, tak berminat membakar kembang api, apalagi menjambangi Elbe. Suara dentuman bertub-tubi mengingatkan saya akan dentuman AK-47 ketika masih rawan konflik di kampung saya di Aceh dan saya masih trauma dengan bunyi serupa.

Dari jendela kamar, pemandangan indah itu tetap sangat jelas terlihat. Bahkan di sebelah kiri jendela, di balkon asrama, beberapa orang berkumpul sambil memegang botol minuman di tangannya, dan membakar kembang api bergantian. Saya akhirnya menutup jendela, khawatir kembang api salah sasaran, lalu membelok ke tempat saya memantau. Menonton dari balik kaca jendela juga tak kalah seru.

Tepat pukul 24.00, seakan dikomando, semua tempat meletup-letup bersamaan dan berterusan memancarkan aneka warna di langit. Bunga-bunga itu terus berhamburan tak henti-henti. Dentuman-dentuman itu menurun perlahan jumlahnya seiring waktu sampai pukul 3 pagi. Asap mengepul tebal di langit. Saya membayangkan, beginilah Palestina saat digempur Israel laknatullah. Asap dari peluru-peluru haus nyawa, asap dari bom-bom molotov, semuanya menyatu membumihanguskan rakyat Palestina.

Asap kembang api itu begitu tebalnya sehingga dalam beberapa menit, gedung-gedung di sekitar asrama saya tak kelihatan. Dalam remang-remang itu, ambulans meraung-raung lagi, sepertinya terdapat korban. Hal yang lumrah di saat orang bermain-main dengan api. Jutaan euro hangus malam itu dalam beberapa menit saja. Keesokan harinya jalanan sepi. Sampai pukul 9, orang-orang belum tampak di jalan-jalan.

Kalau ingin membumihanguskan orang-orang di daerah ini, datanglah pada hari tahun baru. Mereka masih teler oleh pengaruh berbotol-botol alkohol untuk perayaan tahun baru sehingga sangat mudah dilumpuhkan. Ini bukan ajakan, melainkan hanya sekadar kelakar.

Tak perlu mencontoh cara mereka menikmati akhir tahun, karena hal itu nyata tidak berfaedah dan menjadi kontroversi di kalangan mereka sendiri. Sebuah tradisi yang selain merusak diri juga merusak ekonomi. Yang membuat saya tak habis pikir, bagaimana mereka mengatur diri, sehingga semabuk apa pun tidak melakukan tawuran, perkelahian, atau merusak fasilitas umum? Pada poin ini saya angkat topi.

* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com

Editor : hasyim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya