Oleh Teuku Dadek
SETELAH tujuh tahun tsunami, sebagai orang yang ikut merasakan proses rehab rekon dan ikut pula menjadi bagian dari keadaan Aceh sebelum musibah terjadi, tentunya bisa merasakan apa yang sesungguhnya terjadi di Banda Aceh. Terlihat betapa kota tersebut telah tumbuh sebagai kota yang bukan Banda Aceh sebelum tsunami. Jalan-jalan lingkar telah memberikan akses ke tempat-tempat yangs semula sepi menjadi tempat para investor menanamkan uangnya.
Meulaboh pun telah melebar, tempat-tempat yang dulu merupakan kebun karet dan ladang masyarakat berubah menjadi tempat relokasi korban tsunami. Meulaboh yang dulu belum banyak memiliki komplek perumahan besar, sekarang sudah memilikinya. Di kompleks Budha Tzuchi saja ada 1.100 unit rumah sehingga orang-orang Meulaboh yang dulunya hidup dalam suasana perkampungan dengan nilai kekerabatan dan saling kenal yang kental “dipaksa” hidup dalam kompleks perumahan dengan nilai-nilai “blok”, tidak ada “orang asli” dan “orang pendatang”, semua sama dan tidak ada kewajiban untuk harus mengenal semua orang.
Kota-kota tersebut telah direkayasa dan dibangun kembali pascatsunami sehingga tidak mudah bagi orang yang tidak mengenal Aceh sebelum tsunami untuk membebadakan kota-kota tersebut sebelum tsunami. Namun, tidak ada perubahan yang berarti terhadap penataan ruang dalam konteks pengurangan risiko bencana di sana.
Di Banda Aceh tempat yang dulunya adalah zona merah tsunami masih berdiri pemukiman, bahkan perkantoran dan tempat-tempat vital pemerintah. Pemko Banda Aceh pernah mempublikasikan zona-zona yang mengharuskan rumah dibangun 500 meter dari sisi pantai, namun zona ini gagal. Tidak mudah mengajak masyarakat memahami zona ini dan tidak mudah pula bagi pemko menyedia dan membebaskan tanah untuk kepentingan zona tersebut.
Di Meulaboh sekolah sekolah di bekas wilayah tsunami telah dibangun kembali, bahkan banyak sekolah SD masih berdiri di wilayah itu, bisakah kita bayangkan jika gempa dan terjadi tsunami siapa yang harus bertanggung jawab bagi anak-anak TK dan SD tersebut? Apalagi di sekolah, program sekolah siaga bencana belum memasyarakat dan banyak sekolah yang belum memahami arti pentingnya skenario sebuah evakuasi.
Saya terbayang dengan orang-orang yang sedang bermain pasir di pantai dengan membangun sebuah miniatur sebuah kota dari pasir di pinggir laut, dan tiba-tiba datanglah ombak menghancurkan “kota pasir” itu dan dengan tawa kemudian mereka membuat lagi untuk menyenangkan anak-anak yang ikut andil dalam permainan tersebut.
Karenanya, kota di pesisir itu seperti kota yang terbuat dari pasir yang pasti akan menghadapi kembali bencana tsunami, 100 tahun-kah atau lebih, atau malah seribu tahun. Nasi sudah menjadi bubur, Banda Aceh pun sudah menjadi kota dengan tata ruang terbaik di Indonesia, namun ketangguhannya untuk menghadapi kemungkinan terjadi lagi tsunami perlu dipertanyakan.
Untuk itu tidak ada pilihan lain kecuali, pemko dan pemkab harus memperkuat diri dengan kegiatan Pengurangan Resiko Bencana (PRB).
Paling tidak ada lima kegiatan yang dapat dilakukan dalam PRB tersebut, pertama; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, kedua; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, ketiga; pengembangan budaya sadar bencana, keempat; penguatan kapasitas dan jaringan terhadap pelaku penanggulangan bencana, kelima penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Hampir seluruh kabupaten/kota di Aceh dapat dipastikan tata ruangnya tidak didasarkan kepada kajian bencana, sebab konsep tata ruang sudah dibangun sebelum peta risiko ada. Peta ini sangat penting dalam memberikan pedomanan kepada semua pihak, dalam contoh kasus di Meulaboh, pascatsunami Pemkab telah membebaskan tanah untuk relokasi di tiga tempat yang tidak tepat, dua tempat tidak jadi dibangun karena rawan banjir dan gambut, namun satu lagi tetap dibangun sehingga penghuni sering mengalami banjir.
Kedua: program perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, kegiatannya adalah perlu dususunnya perencanaan umum yang berorientasi kepada pengurangan resiko bencana seperti dalam Musrenbang tentu bukan hanya titik berat pemerataan kesempatan dibangun tetapi juga kesempatan mengurangi resiko bencana. Kemudian setiap kabupaten/kota sudah harus membangun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang membuat sejauhmana ketahanan daerah dalam menghadapi bencana, apa yang harus dilakukan jika bencana terjadi serta siapa yang melakukan apa. Pembentukan Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) adalah salah satu bentuk perencanaan partisipatif yang terpelihara.
Ketiga; pengembangan budaya sadar bencana dititikberatkan terutama kepada masyarakat dan sekolah. Masyarakat dan sekolah harus paham bahwa masalah bencana bukanlah hanya urusan pemerintah tetapi masyarakat dan sekolah harus memiliki kemandirian awal dalam pengurangan resiko bencana. Kesadaran ini dapat dibangun misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memilki wacana tentang Desa Tangguh di mana masyarakat desa dibentuk dalam sebuah organisasi suka rela yang memiliki tugas mengurangi risiko sebelum bencana datang, mampu bertindak cepat dalam penyediaan logistik dan penanganan darurat saat bencana serta tepat dalam melakukan upaya rehab dan rekon.
Keempat, penguatan kapasitas dan jaringan terhadap pelaku penanggulangan bencana, hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kecuali Sabang masih dalam proses. Badan ini adalah jelmaan dari Satlat BP yang diperluas serta dibangun atas sebuah UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kelima penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, kegiatannya terutama adalah kontrol letak bangunan agar tidak dibangun di atas daerah bencana dan yang lebih penting lagi adalah kualitas dari bangunan. Di beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia pemberian izin mendirikan bangunan telah melibatkan BPBD dengan cara sebelum sebuah kegiatan pembangunan dilakukan dan izin diterbitkan maka harus terlebih dahulu dikeluarkan ARB (Analisa Resiko Bencana) misalnya ada pihak swata ingin membangun toko di sebuah daerah, dalam ARB tersebut BPBD wajib memberitahukan kepada yang bersangkutan bahwa daerah yang akan dibangun toko adalah rawan banjir yang pernah terjadi pada tahun tertentu dan juga rawan gempa serta tsunami yang pernah terjadi tahun tertentu. Dengan demikian masyarakat akan paham model bangunan apa yang bisa dan harus dia bangun sehingga kota-kota di Aceh yang terletak di daerah rawan tsunami misalnya tidak hanya menjadi sebuah “kota pasir” yang akan disapu kembali oleh tsunami pada 100, 1000 tahun yang akan datang.
* Penulis adalah Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Barat.
SETELAH tujuh tahun tsunami, sebagai orang yang ikut merasakan proses rehab rekon dan ikut pula menjadi bagian dari keadaan Aceh sebelum musibah terjadi, tentunya bisa merasakan apa yang sesungguhnya terjadi di Banda Aceh. Terlihat betapa kota tersebut telah tumbuh sebagai kota yang bukan Banda Aceh sebelum tsunami. Jalan-jalan lingkar telah memberikan akses ke tempat-tempat yangs semula sepi menjadi tempat para investor menanamkan uangnya.
Meulaboh pun telah melebar, tempat-tempat yang dulu merupakan kebun karet dan ladang masyarakat berubah menjadi tempat relokasi korban tsunami. Meulaboh yang dulu belum banyak memiliki komplek perumahan besar, sekarang sudah memilikinya. Di kompleks Budha Tzuchi saja ada 1.100 unit rumah sehingga orang-orang Meulaboh yang dulunya hidup dalam suasana perkampungan dengan nilai kekerabatan dan saling kenal yang kental “dipaksa” hidup dalam kompleks perumahan dengan nilai-nilai “blok”, tidak ada “orang asli” dan “orang pendatang”, semua sama dan tidak ada kewajiban untuk harus mengenal semua orang.
Kota-kota tersebut telah direkayasa dan dibangun kembali pascatsunami sehingga tidak mudah bagi orang yang tidak mengenal Aceh sebelum tsunami untuk membebadakan kota-kota tersebut sebelum tsunami. Namun, tidak ada perubahan yang berarti terhadap penataan ruang dalam konteks pengurangan risiko bencana di sana.
Di Banda Aceh tempat yang dulunya adalah zona merah tsunami masih berdiri pemukiman, bahkan perkantoran dan tempat-tempat vital pemerintah. Pemko Banda Aceh pernah mempublikasikan zona-zona yang mengharuskan rumah dibangun 500 meter dari sisi pantai, namun zona ini gagal. Tidak mudah mengajak masyarakat memahami zona ini dan tidak mudah pula bagi pemko menyedia dan membebaskan tanah untuk kepentingan zona tersebut.
Di Meulaboh sekolah sekolah di bekas wilayah tsunami telah dibangun kembali, bahkan banyak sekolah SD masih berdiri di wilayah itu, bisakah kita bayangkan jika gempa dan terjadi tsunami siapa yang harus bertanggung jawab bagi anak-anak TK dan SD tersebut? Apalagi di sekolah, program sekolah siaga bencana belum memasyarakat dan banyak sekolah yang belum memahami arti pentingnya skenario sebuah evakuasi.
Saya terbayang dengan orang-orang yang sedang bermain pasir di pantai dengan membangun sebuah miniatur sebuah kota dari pasir di pinggir laut, dan tiba-tiba datanglah ombak menghancurkan “kota pasir” itu dan dengan tawa kemudian mereka membuat lagi untuk menyenangkan anak-anak yang ikut andil dalam permainan tersebut.
Karenanya, kota di pesisir itu seperti kota yang terbuat dari pasir yang pasti akan menghadapi kembali bencana tsunami, 100 tahun-kah atau lebih, atau malah seribu tahun. Nasi sudah menjadi bubur, Banda Aceh pun sudah menjadi kota dengan tata ruang terbaik di Indonesia, namun ketangguhannya untuk menghadapi kemungkinan terjadi lagi tsunami perlu dipertanyakan.
Untuk itu tidak ada pilihan lain kecuali, pemko dan pemkab harus memperkuat diri dengan kegiatan Pengurangan Resiko Bencana (PRB).
Paling tidak ada lima kegiatan yang dapat dilakukan dalam PRB tersebut, pertama; pengenalan dan pemantauan risiko bencana, kedua; perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, ketiga; pengembangan budaya sadar bencana, keempat; penguatan kapasitas dan jaringan terhadap pelaku penanggulangan bencana, kelima penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana.
Hampir seluruh kabupaten/kota di Aceh dapat dipastikan tata ruangnya tidak didasarkan kepada kajian bencana, sebab konsep tata ruang sudah dibangun sebelum peta risiko ada. Peta ini sangat penting dalam memberikan pedomanan kepada semua pihak, dalam contoh kasus di Meulaboh, pascatsunami Pemkab telah membebaskan tanah untuk relokasi di tiga tempat yang tidak tepat, dua tempat tidak jadi dibangun karena rawan banjir dan gambut, namun satu lagi tetap dibangun sehingga penghuni sering mengalami banjir.
Kedua: program perencanaan partisipatif penanggulangan bencana, kegiatannya adalah perlu dususunnya perencanaan umum yang berorientasi kepada pengurangan resiko bencana seperti dalam Musrenbang tentu bukan hanya titik berat pemerataan kesempatan dibangun tetapi juga kesempatan mengurangi resiko bencana. Kemudian setiap kabupaten/kota sudah harus membangun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang membuat sejauhmana ketahanan daerah dalam menghadapi bencana, apa yang harus dilakukan jika bencana terjadi serta siapa yang melakukan apa. Pembentukan Forum Pengurangan Resiko Bencana (FPRB) adalah salah satu bentuk perencanaan partisipatif yang terpelihara.
Ketiga; pengembangan budaya sadar bencana dititikberatkan terutama kepada masyarakat dan sekolah. Masyarakat dan sekolah harus paham bahwa masalah bencana bukanlah hanya urusan pemerintah tetapi masyarakat dan sekolah harus memiliki kemandirian awal dalam pengurangan resiko bencana. Kesadaran ini dapat dibangun misalnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memilki wacana tentang Desa Tangguh di mana masyarakat desa dibentuk dalam sebuah organisasi suka rela yang memiliki tugas mengurangi risiko sebelum bencana datang, mampu bertindak cepat dalam penyediaan logistik dan penanganan darurat saat bencana serta tepat dalam melakukan upaya rehab dan rekon.
Keempat, penguatan kapasitas dan jaringan terhadap pelaku penanggulangan bencana, hampir di seluruh kabupaten/kota di Aceh telah dibentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) kecuali Sabang masih dalam proses. Badan ini adalah jelmaan dari Satlat BP yang diperluas serta dibangun atas sebuah UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kelima penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana, kegiatannya terutama adalah kontrol letak bangunan agar tidak dibangun di atas daerah bencana dan yang lebih penting lagi adalah kualitas dari bangunan. Di beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia pemberian izin mendirikan bangunan telah melibatkan BPBD dengan cara sebelum sebuah kegiatan pembangunan dilakukan dan izin diterbitkan maka harus terlebih dahulu dikeluarkan ARB (Analisa Resiko Bencana) misalnya ada pihak swata ingin membangun toko di sebuah daerah, dalam ARB tersebut BPBD wajib memberitahukan kepada yang bersangkutan bahwa daerah yang akan dibangun toko adalah rawan banjir yang pernah terjadi pada tahun tertentu dan juga rawan gempa serta tsunami yang pernah terjadi tahun tertentu. Dengan demikian masyarakat akan paham model bangunan apa yang bisa dan harus dia bangun sehingga kota-kota di Aceh yang terletak di daerah rawan tsunami misalnya tidak hanya menjadi sebuah “kota pasir” yang akan disapu kembali oleh tsunami pada 100, 1000 tahun yang akan datang.
* Penulis adalah Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Aceh Barat.
Editor : hasyim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya