Oleh Fahmi Abduh
DALAM beberapa waktu yang tidak lama ke depan akan ada sebuah investor yang akan membangun sebuah hotel bertaraf internasional dengan investasi lebih dari 200 miliar di Kota Banda Aceh seperti diberitakan beberapa media di Aceh.
Lokasi pembangunan hotel ternyata mendapat reaksi keras dari beberapa kalangan masyarakat terkait dengan lokasi pembangunannya yang hanya berjarak ratusan meter dari landmark kebanggaan kota Banda Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Ada sebuah perspektif umum dari sebagian masyarakat Aceh bahwa hotel itu identik dengan hal-hal yang dilarang agama. Potret hotel tidak Islami yang selama ini wara-wiri di alam sadar masyarakat menjadikan beberapa kelompok masyarakat sangat reaktif menyikapi rencana pembangunan tersebut karena dikhawatirkan akan mengurangi kesakralan Masjid Raya Baiturrahman sebagai tempat ibadah.
Benturan Teknis
Dalam tataran perencanaan (baca:feasibility study) sangat lumrah ketika perencanaan dari perspektif teknis akan berbenturan dengan kondisi sosial kultural masyarakat di sekitarnya. Persoalan yang sama juga kita temui dan terbaca jelas dalam proses pelaksanaan pembangunan Hotel Best Western berlantai 14 dengan ketinggian 42 meter di lahan bekas Geunta Plaza yang hanya berjarak ratusan meter dari Masjid Raya Baiturrahman.
Dari perspektif sosial kultural, masyarakat khawatir bahwa berdirinya hotel tersebut akan meningkatnya potensi munculnya kemaksiatan di sekitar area masjid di tengah kebingungan pemerintah dalam membumikan model formalisasi syariat Islam di Aceh. Di sisi lain, dari perspektif “market demand”, tidak jauhnya posisi landmark kota dengan sebuah akomodasi yang representatif akan mempercepat angka pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata seperti dengan membidik wisatawan dari negara-negara mayoritas penduduk muslim.
Analogi yang sama dapat digunakan ketika kita ingin naik haji ke Mekkah. Persoalan kedekatan akomodasi dengan Masjidil Haram menjadi persoalan yang paling penting bagi para calon jamaah haji. Beberapa dari kita yang punya cukup uang akan lebih memilih ONH plus walaupun harus membayar dua kali lebih mahal, hanya untuk memastikan bahwa lokasi akomodasi nanti ketika kita berhaji tidak jauh dari area Masjidil Haram. Persepsi demikian, tidak hanya datang dari calon haji dari Aceh, tapi juga ada di kepala calon haji di seluruh penjuru dunia. Pemerintah Saudi Arabia menerjemahkan “persepsi pasar ini” dengan membangun banyak akomodasi di sekitar area Masjidil Haram.
Di Kota Istanbul, Turki, pusat sejarah kegemilangan Islam di masa kekhilafahan Utsmaniyah, kita dapat mencari akomodasi hotel atau apartemen yang hanya berjarak ratusan meter dari Masjid Sultan Ahmet yang di kalangan wisatawan barat dikenal dengan sebutan “Blue Mosque”. Masjid ini juga sangat dekat dengan Istana Topkapi yang hanya berjarak 3 menit jalan kaki, sebuah istana yang menjadi saksi bisu sejarah bagaimana kejayaan peradaban Islam di masa dahulu di zaman khilafah Utsmany. Jika wisatawan ingin berbelanja souvenir seperti sajadah, karpet atau Pashmina, maka pasar rakyat juga berada di sekitar area ini yang berada di-sisi area lain yang dapat ditempuh juga dengan hanya dengan berjalan kaki. Terlihat jelas bahwa jauh masa sebelumnya, pemerintahan Utsmany telah mampu menterjemahkan dengan baik bagaiman konsep pembangunan tata kota yang “sustainable”.
Kebetulan saya belum menemukan literature terkait dengan apakah Sultan Iskandar Muda pernah melihat secara langsung model kota Istanbul dengan struktur area Masjid yang tidak jauh dari pasar rakyat dan juga dapat dijangkau dengan mudah dari Istana Topkapi, pendoponya para Sultan di masa khilafah Utsmany. Model yang sama juga dapat kita lihat di Banda Aceh, ketika kita melihat letak pasar Aceh di belakang Masjid Raya Baiturrahman dan juga lokasi Masjid yang tidak jauh dari Pendopo Sultan yang hari ini telah menjadi rumah jabatan bagi orang nomor satu di Aceh.
Dalam kondisi kekinian salah satu perbedaan antara Kota Istanbul dan Banda Aceh adalah ketika Kota Istanbul sudah menyadari betapa pentingnya sarana transportasi publik (i.e. Tram), sedang kota Banda Aceh malah lebih fokus untuk meningkatkan supply Jalan daripada mengatur “demand transportasi” melalui promosi sarana transportasi publik yang nyaman.
Urban Transport Sustainability
Dalam konsep perencanaan tata kota berbasis pembangunan berkelanjutan kedua model pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota Mekkah atau Pemerintah Kota Istanbul hari ini tersebut disebut dengan konsep “urban transport sustainability”. Dalam konteks tersebut, Brehenny (1994) atau Owen (1995), supporter model “compact city” menyebutnya model kota ramah lingkungan karena lebih mempertimbangkan jarak yang tidak jauh antara asal dan tujuan perjalanan sehingga model jalan kaki atau bersepeda dapat diperkenalkan sebagai alternatif untuk mengurangi polusi kendaraan bermotor disamping untuk menghemat uang yang terbakar dari minyak kendaraan.
Dalam perspektif penempatan pusat aktivitas dalam “urban structure pattern” dengan meminjam konsep tata kota Mekkah dan Istanbul, pembangunan hotel di kawasan bekas Genta Plaza yang tidak jauh dari landmark kota Banda Aceh, yakni Masjid Baiturrahman, memiliki kesamaan konsep dengan struktur pembangunan di sekitar area Masjidil Haram di kota Mekkah atau Masjid Sultan Ahmet di Istanbul dengan menjadikan Masjid sebagai “trip attractor”.
Dalam perspektif pariwisata, penempatan sarana akomodasi yang tidak jauh dengan “tourism attraction” akan memudahkan para wisatawan untuk melakukan wisata religius di Masjid Raya Baiturrahman atau sekadar mencicipi kopi Aceh di kedai-kedai kopi yang tidak jauh dari Masjid setelah melaksanakan shalat. Mereka juga tidak perlu berjalan jauh untuk sekadar membeli souvenir Aceh yang tersedia di pasar Aceh, sama persis ketika para wisatawan di Istanbul tidak perlu berjalan jauh untuk melaksanakan shalat di Mesjid Sultan Ahmet dari akomodasi mereka atau kemudian ingin melanjutkan membeli karpet atau Pashmina Turki di pasar rakyat.
Bagaimana dengan Syariat Islam ?
Implementasi syariat Islam dipastikan tidak akan terganggu atau kesakralan Masjid Raya Baiturrahman juga tidak akan berkurang sepanjang pemerintah menegakkan aturan tanpa pandang bulu, tidak membedakan orang miskin atau kaya, pemodal besar atau pemodal kecil.
Wisatawan hanyalah tamu yang berkunjung ke rumah kita yang tidak akan berani menabrak hukum sepanjang aturannya jelas dan tegas. Sama persis ketika kita atau orang paling “Preman” di Banda Aceh tidak akan berani hanya untuk sekadar membuang permen karet atau membuang sampah dalam ruang publik di Singapura, yang lazim kita lakukan di area publik di Kota Banda Aceh. Beritahukan kepada para wisatawan bahwa anda sedang memasuki kawasan Syariat Islam, siapkan buku saku kecil kepada mereka hal apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan termasuk cara berpakaian. Wisatawan ini adalah orang yang patuh hukum, mereka akan berfikir seribu kali hanya untuk membuang sampah atau menerobos lampu merah.
* Penulis adalah Doctoral Candidate di Institute for Transport Studies University of Leeds.
DALAM beberapa waktu yang tidak lama ke depan akan ada sebuah investor yang akan membangun sebuah hotel bertaraf internasional dengan investasi lebih dari 200 miliar di Kota Banda Aceh seperti diberitakan beberapa media di Aceh.
Lokasi pembangunan hotel ternyata mendapat reaksi keras dari beberapa kalangan masyarakat terkait dengan lokasi pembangunannya yang hanya berjarak ratusan meter dari landmark kebanggaan kota Banda Aceh, yaitu Masjid Raya Baiturrahman. Ada sebuah perspektif umum dari sebagian masyarakat Aceh bahwa hotel itu identik dengan hal-hal yang dilarang agama. Potret hotel tidak Islami yang selama ini wara-wiri di alam sadar masyarakat menjadikan beberapa kelompok masyarakat sangat reaktif menyikapi rencana pembangunan tersebut karena dikhawatirkan akan mengurangi kesakralan Masjid Raya Baiturrahman sebagai tempat ibadah.
Benturan Teknis
Dalam tataran perencanaan (baca:feasibility study) sangat lumrah ketika perencanaan dari perspektif teknis akan berbenturan dengan kondisi sosial kultural masyarakat di sekitarnya. Persoalan yang sama juga kita temui dan terbaca jelas dalam proses pelaksanaan pembangunan Hotel Best Western berlantai 14 dengan ketinggian 42 meter di lahan bekas Geunta Plaza yang hanya berjarak ratusan meter dari Masjid Raya Baiturrahman.
Dari perspektif sosial kultural, masyarakat khawatir bahwa berdirinya hotel tersebut akan meningkatnya potensi munculnya kemaksiatan di sekitar area masjid di tengah kebingungan pemerintah dalam membumikan model formalisasi syariat Islam di Aceh. Di sisi lain, dari perspektif “market demand”, tidak jauhnya posisi landmark kota dengan sebuah akomodasi yang representatif akan mempercepat angka pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata seperti dengan membidik wisatawan dari negara-negara mayoritas penduduk muslim.
Analogi yang sama dapat digunakan ketika kita ingin naik haji ke Mekkah. Persoalan kedekatan akomodasi dengan Masjidil Haram menjadi persoalan yang paling penting bagi para calon jamaah haji. Beberapa dari kita yang punya cukup uang akan lebih memilih ONH plus walaupun harus membayar dua kali lebih mahal, hanya untuk memastikan bahwa lokasi akomodasi nanti ketika kita berhaji tidak jauh dari area Masjidil Haram. Persepsi demikian, tidak hanya datang dari calon haji dari Aceh, tapi juga ada di kepala calon haji di seluruh penjuru dunia. Pemerintah Saudi Arabia menerjemahkan “persepsi pasar ini” dengan membangun banyak akomodasi di sekitar area Masjidil Haram.
Di Kota Istanbul, Turki, pusat sejarah kegemilangan Islam di masa kekhilafahan Utsmaniyah, kita dapat mencari akomodasi hotel atau apartemen yang hanya berjarak ratusan meter dari Masjid Sultan Ahmet yang di kalangan wisatawan barat dikenal dengan sebutan “Blue Mosque”. Masjid ini juga sangat dekat dengan Istana Topkapi yang hanya berjarak 3 menit jalan kaki, sebuah istana yang menjadi saksi bisu sejarah bagaimana kejayaan peradaban Islam di masa dahulu di zaman khilafah Utsmany. Jika wisatawan ingin berbelanja souvenir seperti sajadah, karpet atau Pashmina, maka pasar rakyat juga berada di sekitar area ini yang berada di-sisi area lain yang dapat ditempuh juga dengan hanya dengan berjalan kaki. Terlihat jelas bahwa jauh masa sebelumnya, pemerintahan Utsmany telah mampu menterjemahkan dengan baik bagaiman konsep pembangunan tata kota yang “sustainable”.
Kebetulan saya belum menemukan literature terkait dengan apakah Sultan Iskandar Muda pernah melihat secara langsung model kota Istanbul dengan struktur area Masjid yang tidak jauh dari pasar rakyat dan juga dapat dijangkau dengan mudah dari Istana Topkapi, pendoponya para Sultan di masa khilafah Utsmany. Model yang sama juga dapat kita lihat di Banda Aceh, ketika kita melihat letak pasar Aceh di belakang Masjid Raya Baiturrahman dan juga lokasi Masjid yang tidak jauh dari Pendopo Sultan yang hari ini telah menjadi rumah jabatan bagi orang nomor satu di Aceh.
Dalam kondisi kekinian salah satu perbedaan antara Kota Istanbul dan Banda Aceh adalah ketika Kota Istanbul sudah menyadari betapa pentingnya sarana transportasi publik (i.e. Tram), sedang kota Banda Aceh malah lebih fokus untuk meningkatkan supply Jalan daripada mengatur “demand transportasi” melalui promosi sarana transportasi publik yang nyaman.
Urban Transport Sustainability
Dalam konsep perencanaan tata kota berbasis pembangunan berkelanjutan kedua model pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota Mekkah atau Pemerintah Kota Istanbul hari ini tersebut disebut dengan konsep “urban transport sustainability”. Dalam konteks tersebut, Brehenny (1994) atau Owen (1995), supporter model “compact city” menyebutnya model kota ramah lingkungan karena lebih mempertimbangkan jarak yang tidak jauh antara asal dan tujuan perjalanan sehingga model jalan kaki atau bersepeda dapat diperkenalkan sebagai alternatif untuk mengurangi polusi kendaraan bermotor disamping untuk menghemat uang yang terbakar dari minyak kendaraan.
Dalam perspektif penempatan pusat aktivitas dalam “urban structure pattern” dengan meminjam konsep tata kota Mekkah dan Istanbul, pembangunan hotel di kawasan bekas Genta Plaza yang tidak jauh dari landmark kota Banda Aceh, yakni Masjid Baiturrahman, memiliki kesamaan konsep dengan struktur pembangunan di sekitar area Masjidil Haram di kota Mekkah atau Masjid Sultan Ahmet di Istanbul dengan menjadikan Masjid sebagai “trip attractor”.
Dalam perspektif pariwisata, penempatan sarana akomodasi yang tidak jauh dengan “tourism attraction” akan memudahkan para wisatawan untuk melakukan wisata religius di Masjid Raya Baiturrahman atau sekadar mencicipi kopi Aceh di kedai-kedai kopi yang tidak jauh dari Masjid setelah melaksanakan shalat. Mereka juga tidak perlu berjalan jauh untuk sekadar membeli souvenir Aceh yang tersedia di pasar Aceh, sama persis ketika para wisatawan di Istanbul tidak perlu berjalan jauh untuk melaksanakan shalat di Mesjid Sultan Ahmet dari akomodasi mereka atau kemudian ingin melanjutkan membeli karpet atau Pashmina Turki di pasar rakyat.
Bagaimana dengan Syariat Islam ?
Implementasi syariat Islam dipastikan tidak akan terganggu atau kesakralan Masjid Raya Baiturrahman juga tidak akan berkurang sepanjang pemerintah menegakkan aturan tanpa pandang bulu, tidak membedakan orang miskin atau kaya, pemodal besar atau pemodal kecil.
Wisatawan hanyalah tamu yang berkunjung ke rumah kita yang tidak akan berani menabrak hukum sepanjang aturannya jelas dan tegas. Sama persis ketika kita atau orang paling “Preman” di Banda Aceh tidak akan berani hanya untuk sekadar membuang permen karet atau membuang sampah dalam ruang publik di Singapura, yang lazim kita lakukan di area publik di Kota Banda Aceh. Beritahukan kepada para wisatawan bahwa anda sedang memasuki kawasan Syariat Islam, siapkan buku saku kecil kepada mereka hal apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan termasuk cara berpakaian. Wisatawan ini adalah orang yang patuh hukum, mereka akan berfikir seribu kali hanya untuk membuang sampah atau menerobos lampu merah.
* Penulis adalah Doctoral Candidate di Institute for Transport Studies University of Leeds.
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya