Oleh Teuku Zulkhairi
PELAJARAN akidah dan akhlak di sekolah selama ini kurang mendapat perhatian. Tidak mengherankan kalau beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan persoalan ‘kegoncangan akidah’ yang melibatkan remaja. Ada sejumlah remaja kita yang masih duduk di bangku sekolah menengah maupun yang sudah di perguruan tinggi, ikut terjebak dalam ajaran Millata Abraham yang divonis sesat oleh para ulama kita.
Faktanya, dalam penelusuran penulis, hingga hari ini, berapa lama jam pengajaran pendidikan Islam diajarkan? Ada sekolah yang hanya memberikan waktu tidak lebih dua jam untuk quota pengajaran agama Islam per pekannya. Bahkan, beberapa mata pelajaran pokok Islam ini cenderung menjadi mata pelajaran kelas dua pada sekolah-sekolah umum atau bahkan di madrasah sekalipun.
Di sisi lain, selama ini mata pelajaran umum juga belum disajikan secara Islami. Misalnya mata pelajaran IPA, IPS, belum ada petunjuk yang konkret untuk para guru, bagaimana menyajikan pendidikan umum yang relevan dengan nilai-nilai Islam. Akibatnya, produk-produk hasil pendidikan lahir dalam kondisi buta dengan agamanya.
Kondisi ini pada dasarnya merupakan buah dan produk dari sistem pendidikan sekuler Indonesia warisan kolonialisme. Sistem pendidikan Indonesia yang sekuler-materialistik ini sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler, tak terkecuali di Aceh. Karena itu, sudah saatnya kita mempertegas urgensitas Islamisasi pendidikan di Aceh.
Landasan yuridisi
Dalam skala wilayah lebih kecil, upaya mempertegas urgensitas tersebut pernah dilakukan pihak DPRK Banda Aceh dengan melahirkan Qanun Pendidikan Akidah Akhlak. Qanun ini sangat bagus karena ini akan bermakna penambahan jam-jam pelajaran agama (akidah dan akhlak) di sekolah, yang memang sesuatu yang telah lama kita nantikan.
Tetapi, seperti sudah sama kita ketahui pada akhirnya qanun ini ditolak oleh eksekutif dengan alasan bahwa komisi yang akan lahir setelah qanun ini disahkan, akan bertabrakan dengan Komite Penguatan Akidah dan Penguatan Amalan Islam (KPA-PAI) yang dibentuk oleh eksekutif.
Meski demikian, kita tetap manaruh harapan agar suatu saat nanti qanun ini bisa disahkan dan diberlakukan sebagai landasan yuridis dalam upaya penguatan akidah akhlak bagi para siswa kita. Terobosan ini hendaknya juga bisa dicontoh daerah-daerah lain di Aceh.
Komisi pendidikan akidah dan akhlak menjadi penting karena faktanya saat ini sejumlah instansi berwenang belum berperan maksimal, belum mampu menjangkau titik sentral pembinaan akidah dan akhlak generasi muda. Rasanya sangat mendesak bagi lahirnya sebuah lembaga yang bekerja secara khusus menangani permasalahan akidah dan akhlak lewat jalur pendidikan.
Kehadiran Komisi Pendidikan Akidah dan Akhlak justru sangat menguntungkan pemerintah, sebab dibentuk dengan qanun (peraturan daerah), sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat bagi upaya pelaksanaan syariat di ibukota Provinsi Aceh, yang merupakan prototype atau tolok ukur bagi keberhasilan pelaksanaan syari Islam di Aceh.
Sejujurnya kita ingin semua pihak saling bergandengan tangan dalam upaya mendukung penegakan Syariat Islam di Aceh. Seharusnya pihak eksekutif dan legislatif bisa menyelesaikan permasalahan secara arif dan bijaksana. Sudah cukup pengalaman Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah yang berakhir tragis dan terbengkalai hingga kini, akibat tidak adanya tidak temu para pengambil kebijakan di tingkat provinsi.
Payung hukum
Kehadiran Qanun tentang Pendidikan Akidah dan Akhlak di satu sisi juga menjawab keresahan Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan sebagaimana diungkapkannya dalam Dialog dengan Ormas Islam di Aula Mapolda Aceh akhir tahun lalu, bahwa dibutuhkan payung hukum (qanun) untuk melakukan pembinaan terhadap persoalan moral dan akhlak.
Dengan adanya payung hukum, maka para penegak hukum memiliki landasan yuridis dalam bertindak. Sebab, permasalahan dekadensi moral dan kemerosotan akhlak yang sedang melanda generasi muda, khususnya sebagian para remaja kita, kini sudah berada pada kondisi cukup mengkhawatirkan. Mulai dari yang terperangkap dalam aliran sesat, merebaknya komunitas anak-anak punk, hingga pergaulan bebas yang kian mencemaskan.
Semua pihak harus menyadari bahwa persoalan pendangkalan akidah dan kemerosotan akhlak generasi mudah sudah sangat kronis. Para pengambil kebijakan harus segera mengambil langkah-langkah cepat dan tepat agar penerapan Syari’at Islam di Banda Aceh bisa berjalan maksimal. Semua kendala yang muncul harus segera dicarikan solusi, serta langkah antisipasi juga harus disiapkan. Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati?
Berbagai persoalan pendangkalan aqidah dan kemerosotan akhlak melanda generasi muda belakangan ini, sudah cukup menjadi alasan kenapa Qanun Pendidikan Aqidah dan Akhlak tersebut sangat dibutuhkan. Keberadayaan qanun tersebut akan membuat legitimasi pelaksanaan program penguatan aqidah dan perbaikan akhlak remaja di sekolah semakin kuat, dan pemerintah pun akan lebih leluasa dalam mengambil setiap kebijakan karena sudah ada payung hukum. Wallahu a’lam bishshawab.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Masyarakat (LSAMA).
PELAJARAN akidah dan akhlak di sekolah selama ini kurang mendapat perhatian. Tidak mengherankan kalau beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan persoalan ‘kegoncangan akidah’ yang melibatkan remaja. Ada sejumlah remaja kita yang masih duduk di bangku sekolah menengah maupun yang sudah di perguruan tinggi, ikut terjebak dalam ajaran Millata Abraham yang divonis sesat oleh para ulama kita.
Faktanya, dalam penelusuran penulis, hingga hari ini, berapa lama jam pengajaran pendidikan Islam diajarkan? Ada sekolah yang hanya memberikan waktu tidak lebih dua jam untuk quota pengajaran agama Islam per pekannya. Bahkan, beberapa mata pelajaran pokok Islam ini cenderung menjadi mata pelajaran kelas dua pada sekolah-sekolah umum atau bahkan di madrasah sekalipun.
Di sisi lain, selama ini mata pelajaran umum juga belum disajikan secara Islami. Misalnya mata pelajaran IPA, IPS, belum ada petunjuk yang konkret untuk para guru, bagaimana menyajikan pendidikan umum yang relevan dengan nilai-nilai Islam. Akibatnya, produk-produk hasil pendidikan lahir dalam kondisi buta dengan agamanya.
Kondisi ini pada dasarnya merupakan buah dan produk dari sistem pendidikan sekuler Indonesia warisan kolonialisme. Sistem pendidikan Indonesia yang sekuler-materialistik ini sebenarnya hanyalah merupakan bagian dari sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekuler, tak terkecuali di Aceh. Karena itu, sudah saatnya kita mempertegas urgensitas Islamisasi pendidikan di Aceh.
Landasan yuridisi
Dalam skala wilayah lebih kecil, upaya mempertegas urgensitas tersebut pernah dilakukan pihak DPRK Banda Aceh dengan melahirkan Qanun Pendidikan Akidah Akhlak. Qanun ini sangat bagus karena ini akan bermakna penambahan jam-jam pelajaran agama (akidah dan akhlak) di sekolah, yang memang sesuatu yang telah lama kita nantikan.
Tetapi, seperti sudah sama kita ketahui pada akhirnya qanun ini ditolak oleh eksekutif dengan alasan bahwa komisi yang akan lahir setelah qanun ini disahkan, akan bertabrakan dengan Komite Penguatan Akidah dan Penguatan Amalan Islam (KPA-PAI) yang dibentuk oleh eksekutif.
Meski demikian, kita tetap manaruh harapan agar suatu saat nanti qanun ini bisa disahkan dan diberlakukan sebagai landasan yuridis dalam upaya penguatan akidah akhlak bagi para siswa kita. Terobosan ini hendaknya juga bisa dicontoh daerah-daerah lain di Aceh.
Komisi pendidikan akidah dan akhlak menjadi penting karena faktanya saat ini sejumlah instansi berwenang belum berperan maksimal, belum mampu menjangkau titik sentral pembinaan akidah dan akhlak generasi muda. Rasanya sangat mendesak bagi lahirnya sebuah lembaga yang bekerja secara khusus menangani permasalahan akidah dan akhlak lewat jalur pendidikan.
Kehadiran Komisi Pendidikan Akidah dan Akhlak justru sangat menguntungkan pemerintah, sebab dibentuk dengan qanun (peraturan daerah), sehingga memiliki legitimasi yang sangat kuat bagi upaya pelaksanaan syariat di ibukota Provinsi Aceh, yang merupakan prototype atau tolok ukur bagi keberhasilan pelaksanaan syari Islam di Aceh.
Sejujurnya kita ingin semua pihak saling bergandengan tangan dalam upaya mendukung penegakan Syariat Islam di Aceh. Seharusnya pihak eksekutif dan legislatif bisa menyelesaikan permasalahan secara arif dan bijaksana. Sudah cukup pengalaman Qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah yang berakhir tragis dan terbengkalai hingga kini, akibat tidak adanya tidak temu para pengambil kebijakan di tingkat provinsi.
Payung hukum
Kehadiran Qanun tentang Pendidikan Akidah dan Akhlak di satu sisi juga menjawab keresahan Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan sebagaimana diungkapkannya dalam Dialog dengan Ormas Islam di Aula Mapolda Aceh akhir tahun lalu, bahwa dibutuhkan payung hukum (qanun) untuk melakukan pembinaan terhadap persoalan moral dan akhlak.
Dengan adanya payung hukum, maka para penegak hukum memiliki landasan yuridis dalam bertindak. Sebab, permasalahan dekadensi moral dan kemerosotan akhlak yang sedang melanda generasi muda, khususnya sebagian para remaja kita, kini sudah berada pada kondisi cukup mengkhawatirkan. Mulai dari yang terperangkap dalam aliran sesat, merebaknya komunitas anak-anak punk, hingga pergaulan bebas yang kian mencemaskan.
Semua pihak harus menyadari bahwa persoalan pendangkalan akidah dan kemerosotan akhlak generasi mudah sudah sangat kronis. Para pengambil kebijakan harus segera mengambil langkah-langkah cepat dan tepat agar penerapan Syari’at Islam di Banda Aceh bisa berjalan maksimal. Semua kendala yang muncul harus segera dicarikan solusi, serta langkah antisipasi juga harus disiapkan. Bukankah mencegah itu lebih baik dari mengobati?
Berbagai persoalan pendangkalan aqidah dan kemerosotan akhlak melanda generasi muda belakangan ini, sudah cukup menjadi alasan kenapa Qanun Pendidikan Aqidah dan Akhlak tersebut sangat dibutuhkan. Keberadayaan qanun tersebut akan membuat legitimasi pelaksanaan program penguatan aqidah dan perbaikan akhlak remaja di sekolah semakin kuat, dan pemerintah pun akan lebih leluasa dalam mengambil setiap kebijakan karena sudah ada payung hukum. Wallahu a’lam bishshawab.
* Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry dan Peneliti pada Lembaga Studi Agama dan Masyarakat (LSAMA).
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya