Oleh Cut Yulvizar
ACEH kembali menjadi objek yang menarik untuk diperbincangkan. Kali ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan dewan kota Banda Aceh yang telah menyetujui pembangunan Hotel Best Western di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Persetujuan ini kemudian memunculkan berbagai reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Sebagian ada yang setuju dengan pembangunan tersebut, dan sebagian lain menolak ide pembangunan Best Western tersebut.
Terlepas dari perdebatan pro-kontra terhadap pembangunan hotel dan mall tersebut, penulis tertarik melihat dari sudut perspektif lain, yaitu perspektif investasi dan pembangunan wisata Islami yang dijadikan sebagai alasan Pemko dan Dewan kota Banda Aceh.
Bagaimana sebenarnya konsep hotel dan mall Islami? Bagaimana pula maksud membangun western (isasi) dipusat kota Banda Aceh. Dan mengapa harus di depan Mesjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol peradaban Aceh, mengapaa tidak diwilayah lain seperti yang dilakukan oleh Hermes Palace Hotel? Terakhir, akankah simbol mesjid tersebut akan dikalahkan oleh simbol Best western Aceh?
Syndrome western
Pertanyaan ini menarik penulis ajukan, karena Pemko Banda Aceh baru saja menertibkan anak-anak Punk yang dianggap tidak berbudaya Easten (Ketimuran). Sebaliknya, Punk dianggap sebagai aliran/mazhab yang datang dari Negara Barat (Western), yang dinilai bertentangan dengan nilai, norma dan adat serta local wisdom masyarakat Aceh.
Pemko Banda Aceh juga mengambil tindakan “keras” terhadap anak-anak Punk yang western tersebut. Proses “pembinaan” dimulai dengan penangkapan, pencukuran rambut, “pengkolaman” dan pemusnahan segala identitas dan simbol-simbol yang bersifat western tersebut.
Di sisi lain, Pemko dan Dewan Kota sepertinya sedang mengalami syndrome western dengan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) pendirian Hotel/Mall Best Western tepat dihadapan Masjid Raya Baiturrahman, satu wilayah yang dilindungi oleh Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal (1) dan (2) qanun tersebut berkaitan dengan pengelolaan/pelestarian wilayah yang mencakup wilayah Masjid Raya Baiturraham dan Wilayah Makam Raja/Makam Kandang XII, yang berada tepat di belakang lokasi rencana pendirian Hotel dan Mall tersebut.
Secara pilihan nama juga tidak mencerminkan local wisdom dan tidak sesuai padanan kata Islami. Inilah suatu bentuk kebijakan yang menurut analisa penulis juga bertentangan dengan etika, tata krama dan tata ruang Aceh, dengan menghadirkan/menyetujui pembangunan suatu simbol western di pusat kota Banda Aceh.
Secara operasional sebuah hotel berbintang, kita juga patut bertanya: Adakah suatu jaminan bahwa hotel tersebut tidak dijadikan sebagai tempat bermesum/berzina oleh para “mesum-er/penzina”, yang bermodal pastinya?
Adakah aturan yang tidak membolehkan arak (minuman beralkohal) beredar di hotel tersebut? Adakah jaminan tidak ada bar/karaoke yang dianggap bertentangan dengan nilai dan norma-norma Islam? Adakah jaminan tidak ada kolam renang yang di dalamnya akan berenang orang-orang yang tidak berpakaian Islami? Adakah tim Amdal menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang “islami” tersebut?
Sehingga, dengan mudah memberikan rekomendasi layak dan patut secara amdal pembangunan hotel/mall tersebut. Sebaliknya, penulis nyakin sekali semua pertanyaan tersebut tidak memberikan sebuah jawaban bahwa semua itu tidak diizinkan. Karena standar hotel berbintang pasti, dan pasti menyediakan semua barang-barang tersebut.
Artinya, semua alasan yang dikemukakan oleh Pemko dan Dewan Kota hanyalah sebuah alibi dan jawaban yang tidak rasional dalam konteks kampanya wisata Islami. Melihat kondisi demikian, ada dua hal yang mungkin terjadi: Pertama, ada tekanan dari pemilik modal (capital) terhadap pemengang kekuasaan di kota Banda Aceh saat ini.
‘Budak’ pemilik modal
Hal ini seperti dikatakan oleh Badan Investasi Kota Banda Aceh (2012) bahwa pihak hotel tidak akan melakukan investasinya dalam membangun hotel tersebut jika tidak di kawasan tersebut. Ini membuktikan bahwa Pemerintah Kota saat ini seperti menjadi “budak” dari pemilik modal.
Kedua, ada “kartel” kepentingan antara pemilik modal dengan penguasa dalam proses pendirian Best Western tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman. Lebih jauh, ada maksud lain pendirian hotel/mall tersebut tepat di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Karena secara eksplisit kita tahu design dan ketinggian Hotel/Mall tersebut akan mengalahkan ketinggian mesjid raya Baiturrahman.
Artinya, hotel/mall ini akan menjadi icon baru Aceh, bukan lagi Masjid Raya Baiturrahman. Asumsi ini memang perlu diperdebatkan lagi. Namun ini tidak dapat dipungkiri, bahwa upaya membangun Western sebagai wujud Westernisasi Aceh, bukan Islamisasi Aceh.
Terakhir, penulis yakin bahwa masyarakat tidak menolak investasi/pembangunan hotel/mall tersebut, jika tidak dibangun di depan Masjid Raya Baiturrahman. Artinya jika asumsinya adalah faktor pembangunan ekonomi dan peningkatan PAD, mengapa tidak dibangun di wilayah pinggiran kota Banda Aceh, apakah di Ulee lheu, atau kawasan lainnya, yang otomatis akan membangun kawasan tersebut secara ekonomi juga.
Konsep ini juga akan mengurangi kepadatan wilayah kota yang semakin padat seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Banda Aceh. Pemerintah juga seharusnya tidak melanggar qanun yang telah dibuat sebagai landasan juridis dalam membangun kota yang lebih berperadaban.
Jadi mari membangun peradaban kota dengan tetap menghargai situs sejarah dan simbol peradaban Aceh masa lalu, sehingga Aceh tidak menjadi bangsa yang “durhaka” terhadap leluhur dengan tidak melestarikan kawasan yang bernilai sejarah itu.
* Penulis adalah Alumni George August University of Goettingen, Jerman, dan Dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
ACEH kembali menjadi objek yang menarik untuk diperbincangkan. Kali ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah dan dewan kota Banda Aceh yang telah menyetujui pembangunan Hotel Best Western di depan Masjid Raya Baiturrahman.
Persetujuan ini kemudian memunculkan berbagai reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Sebagian ada yang setuju dengan pembangunan tersebut, dan sebagian lain menolak ide pembangunan Best Western tersebut.
Terlepas dari perdebatan pro-kontra terhadap pembangunan hotel dan mall tersebut, penulis tertarik melihat dari sudut perspektif lain, yaitu perspektif investasi dan pembangunan wisata Islami yang dijadikan sebagai alasan Pemko dan Dewan kota Banda Aceh.
Bagaimana sebenarnya konsep hotel dan mall Islami? Bagaimana pula maksud membangun western (isasi) dipusat kota Banda Aceh. Dan mengapa harus di depan Mesjid Raya Baiturrahman yang menjadi simbol peradaban Aceh, mengapaa tidak diwilayah lain seperti yang dilakukan oleh Hermes Palace Hotel? Terakhir, akankah simbol mesjid tersebut akan dikalahkan oleh simbol Best western Aceh?
Syndrome western
Pertanyaan ini menarik penulis ajukan, karena Pemko Banda Aceh baru saja menertibkan anak-anak Punk yang dianggap tidak berbudaya Easten (Ketimuran). Sebaliknya, Punk dianggap sebagai aliran/mazhab yang datang dari Negara Barat (Western), yang dinilai bertentangan dengan nilai, norma dan adat serta local wisdom masyarakat Aceh.
Pemko Banda Aceh juga mengambil tindakan “keras” terhadap anak-anak Punk yang western tersebut. Proses “pembinaan” dimulai dengan penangkapan, pencukuran rambut, “pengkolaman” dan pemusnahan segala identitas dan simbol-simbol yang bersifat western tersebut.
Di sisi lain, Pemko dan Dewan Kota sepertinya sedang mengalami syndrome western dengan menerbitkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) pendirian Hotel/Mall Best Western tepat dihadapan Masjid Raya Baiturrahman, satu wilayah yang dilindungi oleh Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal (1) dan (2) qanun tersebut berkaitan dengan pengelolaan/pelestarian wilayah yang mencakup wilayah Masjid Raya Baiturraham dan Wilayah Makam Raja/Makam Kandang XII, yang berada tepat di belakang lokasi rencana pendirian Hotel dan Mall tersebut.
Secara pilihan nama juga tidak mencerminkan local wisdom dan tidak sesuai padanan kata Islami. Inilah suatu bentuk kebijakan yang menurut analisa penulis juga bertentangan dengan etika, tata krama dan tata ruang Aceh, dengan menghadirkan/menyetujui pembangunan suatu simbol western di pusat kota Banda Aceh.
Secara operasional sebuah hotel berbintang, kita juga patut bertanya: Adakah suatu jaminan bahwa hotel tersebut tidak dijadikan sebagai tempat bermesum/berzina oleh para “mesum-er/penzina”, yang bermodal pastinya?
Adakah aturan yang tidak membolehkan arak (minuman beralkohal) beredar di hotel tersebut? Adakah jaminan tidak ada bar/karaoke yang dianggap bertentangan dengan nilai dan norma-norma Islam? Adakah jaminan tidak ada kolam renang yang di dalamnya akan berenang orang-orang yang tidak berpakaian Islami? Adakah tim Amdal menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang “islami” tersebut?
Sehingga, dengan mudah memberikan rekomendasi layak dan patut secara amdal pembangunan hotel/mall tersebut. Sebaliknya, penulis nyakin sekali semua pertanyaan tersebut tidak memberikan sebuah jawaban bahwa semua itu tidak diizinkan. Karena standar hotel berbintang pasti, dan pasti menyediakan semua barang-barang tersebut.
Artinya, semua alasan yang dikemukakan oleh Pemko dan Dewan Kota hanyalah sebuah alibi dan jawaban yang tidak rasional dalam konteks kampanya wisata Islami. Melihat kondisi demikian, ada dua hal yang mungkin terjadi: Pertama, ada tekanan dari pemilik modal (capital) terhadap pemengang kekuasaan di kota Banda Aceh saat ini.
‘Budak’ pemilik modal
Hal ini seperti dikatakan oleh Badan Investasi Kota Banda Aceh (2012) bahwa pihak hotel tidak akan melakukan investasinya dalam membangun hotel tersebut jika tidak di kawasan tersebut. Ini membuktikan bahwa Pemerintah Kota saat ini seperti menjadi “budak” dari pemilik modal.
Kedua, ada “kartel” kepentingan antara pemilik modal dengan penguasa dalam proses pendirian Best Western tepat di depan Masjid Raya Baiturrahman. Lebih jauh, ada maksud lain pendirian hotel/mall tersebut tepat di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Karena secara eksplisit kita tahu design dan ketinggian Hotel/Mall tersebut akan mengalahkan ketinggian mesjid raya Baiturrahman.
Artinya, hotel/mall ini akan menjadi icon baru Aceh, bukan lagi Masjid Raya Baiturrahman. Asumsi ini memang perlu diperdebatkan lagi. Namun ini tidak dapat dipungkiri, bahwa upaya membangun Western sebagai wujud Westernisasi Aceh, bukan Islamisasi Aceh.
Terakhir, penulis yakin bahwa masyarakat tidak menolak investasi/pembangunan hotel/mall tersebut, jika tidak dibangun di depan Masjid Raya Baiturrahman. Artinya jika asumsinya adalah faktor pembangunan ekonomi dan peningkatan PAD, mengapa tidak dibangun di wilayah pinggiran kota Banda Aceh, apakah di Ulee lheu, atau kawasan lainnya, yang otomatis akan membangun kawasan tersebut secara ekonomi juga.
Konsep ini juga akan mengurangi kepadatan wilayah kota yang semakin padat seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Banda Aceh. Pemerintah juga seharusnya tidak melanggar qanun yang telah dibuat sebagai landasan juridis dalam membangun kota yang lebih berperadaban.
Jadi mari membangun peradaban kota dengan tetap menghargai situs sejarah dan simbol peradaban Aceh masa lalu, sehingga Aceh tidak menjadi bangsa yang “durhaka” terhadap leluhur dengan tidak melestarikan kawasan yang bernilai sejarah itu.
* Penulis adalah Alumni George August University of Goettingen, Jerman, dan Dosen FMIPA Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya