Selasa, 10 Januari 2012

Perdagangan Pemain Bola

Oleh Syahrizal Azmi

PADA zaman modern sekarang ini, semua pihak menentang aksi perdagangan manusia (human trafficking). Manusia yang sering diperdagangkan adalah bayi, anak-anak, dan kaum perempuan. Human trafficking terjadi karena adanya dua pihak yang melakukan transaksi, dan kedua pihak ini memperoleh keuntungan dari transaksi itu.

Tanpa disadari, ternyata dalam dunia sepakbola telah terjadi perdagangan manusia. Para pemain bola kerap diperjualbelikan dengan tarif sesuka hati germo yang dalam hal ini adalah pemiliki klub bola. Para pemain hanya mendapatkan secuil materi dari keahlian dan kerja kerasnya dalam memainkan si kulit bundar. Keuntungan lebih besar justru diperoleh oleh ‘germo’.

Perdagangan manusia telah terjadi semenjak adanya perbudakan, dan perbudakan telah terjadi jauh sebelum Islam datang. Di antara penyebab suburnya perbudakan waktu itu adalah seringnya terjadi peperangan antarkabilah dan antarbangsa, di samping faktor lain seperti perampokan, perampasan, penculikan, kemiskinan, ketidakmampuan membayar hutang dan lain sebagainya, serta didukung pula dengan adanya pasar budak. Sejarah menunjukkan bahwa manusia zaman dahulu melakukan perbudakan dengan berbagai cara dan menganggap budaknya itu sebagai ‘property’ yang bisa diperjualbelikan dan diperlakukan layaknya barang.

Dewasa ini kita dapati maraknya eksploitasi manusia untuk dijual, terutama pada wanita untuk perzinaan, dipekerjakan tanpa upah dan lainnya, ada juga pada bayi yang baru dilahirkan untuk tujuan adopsi. Perdagangan manusia seperti ini dikecam keras oleh semua pihak terutama aktivis HAM. Pada sisi lain, kita semua dan aktivis HAM seakan tidak melihat munculnya modus baru dalam perdagangan manusia, yaitu para pemain bola kini diperlakukan ibarat barang dagangan yang diperjualbelikan oleh klub-klub tertentu.

Jika mereka beralasan bahwa, kedua belah pihak--klub maupun pemain--sendiri melakukannya atas dasar suka sama suka dan dalam keadaan sadar mereka bersepakat melakukan perdagangan apalagi si pemain tidak merasa keberatan dengan bayaran yang diterima, maka kondisi ini tampak tidak berbeda jauh dibanding pekerja seks komersial.

Pekerja seks komersial yang menjadi rebutan para lelaki hidung belang atau germo juga melakukan transaksi atas kesepakatan suka sama suka dan mendapatkan gaji atas pekerjaan mereka.

Dalam pandangan saya, pemain bola yang menjadi rebutan klub itu pada hakikatnya sama seperti budak yang diperjual-belikan, hanya saja keadaannya yang berbeda. Jika PSK bekerja pada lingkungan yang bersifat negatif karena berbenturan dengan norma asusila, sedangkan pemain sepak bola yang juga diperjualbelikan itu berada di lingkungan yang tidak berbenturan dengan asusila, namun itu semua mempunyai kesamaan bila kita mau lebih teliti lagi dalam mengkajinya.

Mungkin anda merasa bahwa saya terlalu jauh dalam menilai profesi pemain bola dan keliru dalam memberi opini, tapi ini semua merupakan sebuah pendapat yang rasional dan realistis. Coba kita renungkan dengan teliti tentang seorang pemain sepak bola yang sedang naik daun. Ia menjadi bahan pemberitaan media massa tentang kehebatannya dalam mengolah si kulit bundar, pasti si pemain tadi akan menjadi rebutan berbagai klub, layaknya seorang gadis cantik jelita yang menjadi rebutan para laki-laki.

Klub-klub lain tidak hanya sekadar melirik begitu saja, tapi mereka siap mengeluarkan berapa pun harga yang diminta oleh klub yang menjadi pemilik pemain tersebut. Jika harga tersebut telah mencapai pada sebuah kesepakatan maka pemain tersebut menjadi milik si pembeli. Dari fakta ini kita dapat melihat bahwa sesungguhnya itu semua adalah sebuah transaksi jual-beli manusia layaknya transaksi dalam melakukan jual-beli terhadap hewan ternak. Ini merupakan sebuah sikap pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia selaku makhluk yang merdeka.

Human Trafficking dalam Islam
Hukum Islam, perdagangan adalah pekerjaan mubah kecuali yang diharamkan dengan nash atau disebabkan gharar (penipuan). Mengenai kasus perdagangan manusia, ada dua jenis yaitu manusia merdeka dan manusia budak (‘abdun atau amah). Dalam sebuah hadits Qudsi Nabi Muhammad Saw bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya; kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya; dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya.

Hadits ini menjelaskan bahwa Allah SWT mengecam keras orang-orang yang melakukan praktik perdagangan manusia, dengan ancaman permusuhan di hari kiamat. Dalam masalah ini ulama bersepakat atas haramnya menjual orang yang merdeka, dan setiap akad yang mengarah ke sana, maka akadnya dianggap tidak sah dan pelakunya berdosa.

Oleh karena itu, kita dapat menyadari bahwa betapa kejinya praktik perdagangan orang. Namun, sayangnya kita tidak pernah menyadari bahkan kita terlalu euforia dengan itu semua, kita bangga dengan apa yang telah kita lihat dan kita dengar tentang sepak bola. Padahal di balik itu terdapat sesuatu yang sangat keji dan dilarang oleh agama Islam yang menjunjung tinggi civil society.

Solusi
Klub sepak bola mendapat keuntungan berlipat dari para pemainnya. Seorang pemain yang digaji dengan angka 5 juta dolar pertahun, misalnya, akan ditransfer ke klub lain dengan harga berlipat-lipat ganda (adh’afan mudha’afa) hingga mencapai 500 persen dari harga beli. Di sini tampak sekali ketidakadilan dan tercium adanya aroma eksploitasi manusia, walau sang pemain itu tidak pernah melakukan protes atas gaji yang dia terima.

Seharusnya pemain sepak bola itu mendapatkan gaji yang sepadan dengan apa yang diterima oleh klub tempat dia bernaung sehingga terwujud keadilan di antara keduanya dan hilangnya aroma praktik jual-beli pemain. Biarkan pemain tersebut menghabiskan masa kontrak kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Pada saat kontraknya habis biarkan pemain tersebut menentukan klub mana yang akan menjadi pilihannya. Nah, dengan begitu, human trafficking bisa dihapus dalam dunia sepak bola yang menjunjung tinggi fair play. Semoga!

* Penulis adalah Sekum HMI Komisariat Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya