Selasa, 10 Januari 2012

Bank Petani oleh Petani

Oleh Joni Marsius, Deputi Pemimpin BI Banda Aceh Bidang Ekonomi Moneter

PADA seminar akhir tahun 2011 bertempat di Bank Indonesia Banda Aceh dihadirkan seorang yang tidak biasanya, yakni seorang petani Agam Sumatera Barat yang hanya berpendidikan kelas empat SD bernama Masril Koto. Masril Koto makin dikenal masyarakat Indonesia, sesaat setelah muncul di acara Kick Andy, Metro TV karena keganjilannya mendirikan lembaga keuangan di daerah Agam yang disebutnya “Bank Petani”. Disebut ganjil karena bank terebut tidak lazim dalam praktik perbankan pada umumnya atau bahkan untuk kategori Lembaga Kuangan Mikro sekalipun.

Belakangan, karena tidak mengikuti kaidah perbankan umumnya, sehingga tidak dimungkinkan diawasi oleh Lembaga Pengawas Perbankan, maka Bank Petani tersebut berubah nama menjadi Lembaga Kuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Dalam waktu singkat, jaringan LKMA berkembang menjadi 300 unit dengan total aset tidak kurang dari Rp90 Miliar. Karena keunikan dan kemampuan lembaganya menjawab kebutuhan keuangan petani, bisa jadi inilah yang menyebabkan Masril menjadi teman diskusi menteri pertanian dalam mengembangkan Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP).

Berbeda dengan Prof.DR. Renald Kasali atau Tung Desem Waringin (TDW) yang tahun 2011 lalu juga diundang menjadi pemateri seminar di Banda Aceh, yang dengan fasih mengucapkan istilah ekonomi atau istilah popular keuangan lainnya, Masril mengucapkan dengan kaku, bahkan butuh waktu sejenak mencerna apa yang baru diucapkannya.

Suasana ger-geran saat Masril bicara dengan istilah bahasa Inggris.

Masril Koto berbagi pengalaman berharga yang dapat menjadi pelajaran LKM yang beroperasi di Aceh. Pesan penting pertama yang disampaikannya untuk pengurus LKM Aceh, adalah kejujuran dan jangan khianat kepada orang yang menitip uang maupun pada diri sendiri, ini yang harus dijadikan sifat dasar pengurus. Nasihat keduanya, berfikirlah di luar kebiasaan perbankan (out of the box), janganlah berlagak seperti bank umum atau BPR. Pasar LKM adalah tempat yang tidak dimasuki oleh perbankan.

LKMA-nya Masril menyalurkan pinjaman tanpa jaminan fisik. Namun tetap minimal dengan pinjaman bermasalah, dengan kiat memanfaatkan kearifan lokal. Orang Sumbar malu kalau disebut penghutang, walaupun mereka berhutang. Saat terjadi tunggakan, yang dilakukan oleh LKMA adalah mengumumkan penunggak di surau/masjid berikut mencantumkan namanya di papan pengumuman masjid termasuk juga ninik mamak yang menjamin penghutang. Masril menyarankan ke LKM Aceh untuk memanfaatkan budaya lokal untuk mengendalikan pinjaman bermasalah.

Ketiga, karena selalu berbikir di luar kebiasaan, maka jadilah kreatif dalam menjalankan LKM. Pikirkan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Buatlah produk pinjaman dan simpanan yang sesuai dengan usaha mikro. Masril mencontohkan bagaimana ia memodifikasi produk simpanan perbankan menjadi produk tabungan berjangka di LKMA, seperti tabungan melahirkan, tabungan kawin, dan tabungan sakit. Saya kagum karena Masril yang tidak tamat SD itu paham prinsip prudensial mengelola lembaga keuangan. Dengan penjelasan ala Masril, ia telah menjelaskan bahwa LKM harus menjaga likuiditas (cash rasio), seperti pada sarannya untuk menyisihkan 20% dari dana yang berhasil dihimpun untuk berjaga-jaga dan mencari sumber dana berjangka, serta mengatur penyaluran ke pinjaman pertanian dengan silkus kurang dari 6 bulan. LKM harus menjaga arus kas (cash flow) LKM yang sehat (maturity profile). Ia juga mengajarkan bagaimana mengendalikan (memitigasi) risiko dengan prinsip pinjaman kecil tetapi banyak (prinsip legal lending limit), serta pinjaman selektif dan terbatas untuk komoditi dengan harga fluktuatif.

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya