Rabu, 17 Oktober 2012




AWAL tahun 1950-an rubrik Beginilah di Djakarta di Harian Rakjat memberitakan tentang para pemuda jalanan yang kecanduan berjudi (lihat Tjalie Robinson dalam Kind van Batavia. Amsterdam: Prometheus 2012).





Hampir setiap sudut jalan menunjukkan pemandangan yang sama: orang penjual lotere. Orang seperti itu memperoleh penghasilan dari 60 persen toeslag dari setiap karcis lotere demi amal yang dijualnya.

Selembar karcis lotere memberikan kemungkinan memenangkan mobil, mesin jahit, motor, mesin tik, radio, dan aneka perlengkapan dapur. Di seluruh Nusantara, daftar hadiah yang dapat dimenangkan itu bertambah dengan perjalanan ke Bali, Lombok, atau Singapura dan pesta tahun baru di hotel yang paling mahal (minuman keras tidak termasuk!).



Mengejar peruntungan dari selembar karcis lotere tidak menarik untuk anak-anak di Batavia. Permainan dengan karet gelang yang beraneka warna lebih mengasyikkan. 20 buah karet gelang dapat dibeli dengan uang 10 sen saja.



Anak-anak yang bermain membentuk lingkaran dan menentukan siapa yang mendapatkan giliran dengan mengulurkan tangan ke tengah-tengah lingkaran. Bersama-sama, sambil beramai-ramai mengucapkan: humpimpa-alaihum-gambreng masing-masing anak menyodorkan punggung atau telapak tangannya. Yang menang, mendapatkan giliran pertama bermain.



Sesuai kesepakatan, setiap anak meletakkan sejumlah karet gelang di atas punggung tangan si anak yang memenangkan giliran pertama tadi. Anak itu menggerakkan tangannya sehingga karet-karet gelang di punggung tangannya beterbangan. Dengan telunjuknya, ia harus mengait sebanyak mungkin sebelum karet gelang jatuh ke tanah. Karet gelang yang dapat dikaitnya menjadi miliknya.



Main ayam-ayaman adalah salah satu variasi permainan ini. Semua karet gelang lawan dijatuhkan di tanah. Dengan telunjuknya, anak yang mendapat giliran berusaha menjentik karet gelangnya ke atas yang lain. Bila berhasil boleh mengambil karet gelang lawannya itu. Disebut ayam-ayaman karena anak-anak itu sibuk mengorek-ngorek seperti ayam yang mematuk jagung di atas tanah.



Dalam main patok, karet-karet gelang itu digantungkan di kayu yang ditegakkan kira-kira 10 sentimeter di atas tanah. Anak yang mendapat giliran menjepret gelang-gelang karet itu dengan gelang karet miliknya sendiri. Yang berhasil dijatuhkan, menjadi miliknya sendiri. Permainan yang sama dengan gelang karet yang digantungkan di dinding disebut main dinding.



Ada pula permainan gelang karet dan kelereng yang disebut main oyok-oyokan (sayang tak ada deskripsi permainan ini). Sedangkan permainan tiup-tiupan gelang karet disangkutkan pada lidi pendek dan harus ditiup hingga terlepas dari lidi. Pada akhir permainan, barangkali nafas anak-anak itu tersengal-sengal namun mereka pulang membawa kekayaan berupa puluhan gelang karet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya