Oleh Muhajir Ismail, Guru SMKN 1 Jeunieb sedang Tugas Belajar di UPSI, melaporkan dari Perak Malaysia.
MINGGU (27/11) lalu, sopir taksi yang saya tumpangi dari terminal Puduraya menuju kawasan Cowkit, Malaysia, langsung bergumam: “Oooh... Acheh, Tsunami dan dadah,” ujarnya, persis saat saya memperkenalkan diri bahwa saya dari Aceh, Indonesia. Ia mengaku tahu betul tentang penderitaan orang Aceh, mulai dari masa konflik hingga bencana tsunami 26 Desember 2004.
Sopir taksi itu mengaku melihat di TV ribuan jenazah tergeletak di mana-mana, begitu juga dengan kehancuran perkampungan yang luar biasa saat bencana yang mahadahsyat itu menimpa Aceh. Saya mengatakan bahwa sekarang Aceh sudah normal kembali dan jauh lebih baik dibandingkan sebelum tsunami.
Saya juga mengucapkan terimakasih karena masyarakat Malaysia juga telah banyak membantu membangun Aceh kembali. Kemudian dia mulai bercerita, setelah tsunami Kerajaan Malaysia memberikan “Tsunami Card” sehingga orang Aceh bebas mencari rezeki di Malaysia. Meski demikian, sebagian orang Aceh tidak bekerja dengan benar, melainkan menjadi pengedar narkoba di negara jiran tersebut.
“Saya baca di surat kabar, banyak orang Aceh dan Iran yang berurusan dengan Hukum negara kami malahan ada yang berakhir di tiang gantungan karena kasus dadah,” kata sopir taksi yang saya tumpangi itu.
Cerita sopir taksi tentang orang Aceh pengedar dadah terus membuat perasaan saya tidak enak dan langsung teringat cerita pengalaman seorang teman, mantan pengedar sabu di Malaysia yang telah insaf. Menurutnya, di Malaysia kita mendapatkan sabu kualitas terbaik dengan harga Rp 45 juta/Ons dengan ongkos kirim Rp 5 juta/ons. Sampai di Aceh, harganya bisa mencapai Rp 80 juta/ons untuk harga Borongan dan apabila dipaketkan dalam paket kecil akan menjadi Rp 120 juta dalam satu ons. Bayangkan kalau barang yang berhasil diseludupkan dalam jumlah berkilo-kilo.
Ketika memutuskan menjadi pengedar narkoba, maka si pengedar berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu menjadi kaya raya atau siap mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Hukum di Malaysia, jika ditemukan narkoba di atas 200 gram, maka yang bersangkutan akan dijatuhi hukuman gantung sampai mati.
Tapi, masih ada saja warga kita yang coba menyelundupkan barang haram tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, di Aceh saat ini peredaran barang haram itu kian merajalela, telah banyak melahirkan Milyader baru dengan harta berlimpah, mereka seakan telah menjadi “idola” di kampung karena dikenal royal dan gemar berinfaq.
Kondisi ini akan menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda lainya, mareka lupa karena satu dua orang yang kaya raya, sementara ribuan orang Aceh lainnya menjadi fakir miskin karena ketagihan mengkonsumsi sabu, celakanya lagi generasi Aceh ke depan akan hancur.***
MINGGU (27/11) lalu, sopir taksi yang saya tumpangi dari terminal Puduraya menuju kawasan Cowkit, Malaysia, langsung bergumam: “Oooh... Acheh, Tsunami dan dadah,” ujarnya, persis saat saya memperkenalkan diri bahwa saya dari Aceh, Indonesia. Ia mengaku tahu betul tentang penderitaan orang Aceh, mulai dari masa konflik hingga bencana tsunami 26 Desember 2004.
Sopir taksi itu mengaku melihat di TV ribuan jenazah tergeletak di mana-mana, begitu juga dengan kehancuran perkampungan yang luar biasa saat bencana yang mahadahsyat itu menimpa Aceh. Saya mengatakan bahwa sekarang Aceh sudah normal kembali dan jauh lebih baik dibandingkan sebelum tsunami.
Saya juga mengucapkan terimakasih karena masyarakat Malaysia juga telah banyak membantu membangun Aceh kembali. Kemudian dia mulai bercerita, setelah tsunami Kerajaan Malaysia memberikan “Tsunami Card” sehingga orang Aceh bebas mencari rezeki di Malaysia. Meski demikian, sebagian orang Aceh tidak bekerja dengan benar, melainkan menjadi pengedar narkoba di negara jiran tersebut.
“Saya baca di surat kabar, banyak orang Aceh dan Iran yang berurusan dengan Hukum negara kami malahan ada yang berakhir di tiang gantungan karena kasus dadah,” kata sopir taksi yang saya tumpangi itu.
Cerita sopir taksi tentang orang Aceh pengedar dadah terus membuat perasaan saya tidak enak dan langsung teringat cerita pengalaman seorang teman, mantan pengedar sabu di Malaysia yang telah insaf. Menurutnya, di Malaysia kita mendapatkan sabu kualitas terbaik dengan harga Rp 45 juta/Ons dengan ongkos kirim Rp 5 juta/ons. Sampai di Aceh, harganya bisa mencapai Rp 80 juta/ons untuk harga Borongan dan apabila dipaketkan dalam paket kecil akan menjadi Rp 120 juta dalam satu ons. Bayangkan kalau barang yang berhasil diseludupkan dalam jumlah berkilo-kilo.
Ketika memutuskan menjadi pengedar narkoba, maka si pengedar berhadapan dengan dua kemungkinan, yaitu menjadi kaya raya atau siap mengakhiri hidupnya di tiang gantungan. Hukum di Malaysia, jika ditemukan narkoba di atas 200 gram, maka yang bersangkutan akan dijatuhi hukuman gantung sampai mati.
Tapi, masih ada saja warga kita yang coba menyelundupkan barang haram tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, di Aceh saat ini peredaran barang haram itu kian merajalela, telah banyak melahirkan Milyader baru dengan harta berlimpah, mereka seakan telah menjadi “idola” di kampung karena dikenal royal dan gemar berinfaq.
Kondisi ini akan menjadi inspirasi bagi pemuda-pemuda lainya, mareka lupa karena satu dua orang yang kaya raya, sementara ribuan orang Aceh lainnya menjadi fakir miskin karena ketagihan mengkonsumsi sabu, celakanya lagi generasi Aceh ke depan akan hancur.***
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya