OLEH JARJANI USMAN, Mahasiswa Program Doktoral Deakin University, melaporkan dari Australia
TEMPERATUR 4 derajat Celcius pada pukul 3 malam tentulah dinginnya menusuk tulang. Namun, di saat seperti itulah sebagian mahasiswa Indonesia atau warga lainnya di Melbourne, Australia, bangun dari tidurnya untuk berangkat bekerja. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai loper (penjaja) koran.
Koran-koran yang sudah dibungkus rapi dan dimasukkan ke dalam plastik dibawa dengan mobil, lalu dilempar ke pekarangan rumah para langganan. Sekitar 200 rumah pelanggan biasanya didatangi sang loper dalam tempo dua jam atau bahkan lebih singkat, 1,5 jam saja.
Pukul 4.30 atau paling lama pukul 5 dini hari, mereka sudah pulang dari tugas rutin mengantar koran. Dengan bekerja seperti itu, mereka biasanya mendapatkan Rp 10 juta hingga 15 juta per bulan.
Pulang dari bekerja, mereka biasanya menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Dibawanya seluruh anggota keluarga, mulai dari istri hingga anak terkecil. Saya yakin itu semua dalam rangka pembinaan keluarga. Tiap hari Minggu, anggota jamaah yang memiliki keluarga secara bergiliran membawa makanan untuk disajikan dan disantap bersama anggota jamaah lainnya di masjid. Tak pernah sekalipun tak cukup makanannya, meski kadangkala ramai jamaah yang hadir. Tapi semua mendapat bagian, terlepas dari banyak tidaknya porsi yang diperoleh.
Yang menariknya lagi, di antara jamaah yang bekerja sambilan sebagai loper koran itu adalah para ustaz. Mereka adalah lulusan-lulusan dari berbagai pesantren dan universitas di Indonesia dan universitas di Timur Tengah. Jadi, sepulang dari bekerja sebagai loper koran, mereka ikut menyumbangkan ilmunya dengan berceramah secara rutin setelah shalat Subuh hingga pukul 9 pagi.
Pada waktu-waktu lain, dibuat berbagai pengajian rutin, mulai dari tafsir Quran bagi orang dewasa hingga belajar Quran bagi anak-anak. Para ustaz itu tak meminta bayaran dan tak meminta diperlakukan istimewa. Mereka seperti jamaah lainnya yang datang sendiri, pulang sendiri.
Kalau di daerah kita, umumnya anak-anak yang rutin pergi mengaji.
Tapi kalau di Melbourne ini, yang mengaji justru termasuk orang tua dan anak-anak. Kalau di daerah kita, seringkali hanya orang-orang yang sudah berilmu agama tinggi yang rutin menghadiri pengajian rutin. Tapi di Melbourne, berbagai lapisan masyarakat yang ikut hadir. Bukan hanya yang bekerja sebagai pekerja kasar di pabrik-pabrik, tetapi juga para ahli bidang tertentu yang bergaji hingga Rp 60 juta per bulan. Semua berbaur, bagaikan masyarakat muslim tanpa kelas.
Saya sebut tanpa kelas, karena memang tak terlihat adanya orang-orang yang mengelompokkan diri dalam kelompok orang-orang kaya atau kelompok orang-orang pintar. Semuanya saling menyapa satu sama lain, lebih-lebih setelah shalat Subuh ketika acara makan-makan berlangsung. Semua saling berjabat tangan dan menanyakan kabar. Bahkan, semuanya memiliki e-mail untuk saling berkomunikasi dan menjalin silaturahmi.
Bila ada waktu luang, sering dibuat acara berkunjung ke daerah atau negara bagian lain di Austalia secara bersama-sama. Biasanya ada pihak yang ikhlas menyumbangkan bus besar dan ditambah sejumlah mobil pribadi, bila memang bus tidak muat. Ada juga yang menyumbang makanan, berupa nasi bungkus, bakso, dan berbagai macam snack. Pendeknya, setiap kali berpergian jauh, kebersamaan di antara komunitas ini begitu tinggi.
Bila ada anggota jamaah yang akan pulang ke Indonesia untuk selamanya, mungkin karena tamat kuliah atau pindah kerja, tidak lupa dibuat acara perpisahan secara meriah dan mengesankan. Pada saat-saat seperti itu, biasanya masing-masing diberikan kesempatan untuk berbicara sejenak untuk saling mengingatkan agar selalu bekerja keras, senantiasa sukses, dan menjunjung tinggi persahabatan. Kelihatan sekali sebuah kelompok masyarakat muslim yang kompak dan berkarakter.
Saya yakin, terbentuknya masyarakat seperti itu tak terlepas dari peran para ustaz yang meskipun ada yang bekerja sambilan sebagai loper koran, tapi mereka rutin dan secara bergantian memberikan petuah-petuah agama kepada umat di negeri kanguru ini. Bukan hanya berdakwah dengan lisan, tetapi mereka juga melakukan hal-hal yang berguna dalam kehidupan nyata. Sebagai perantau dari Aceh, saya sungguh terkesan pada kiprah mereka.
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com
TEMPERATUR 4 derajat Celcius pada pukul 3 malam tentulah dinginnya menusuk tulang. Namun, di saat seperti itulah sebagian mahasiswa Indonesia atau warga lainnya di Melbourne, Australia, bangun dari tidurnya untuk berangkat bekerja. Di antara mereka ada yang bekerja sebagai loper (penjaja) koran.
Koran-koran yang sudah dibungkus rapi dan dimasukkan ke dalam plastik dibawa dengan mobil, lalu dilempar ke pekarangan rumah para langganan. Sekitar 200 rumah pelanggan biasanya didatangi sang loper dalam tempo dua jam atau bahkan lebih singkat, 1,5 jam saja.
Pukul 4.30 atau paling lama pukul 5 dini hari, mereka sudah pulang dari tugas rutin mengantar koran. Dengan bekerja seperti itu, mereka biasanya mendapatkan Rp 10 juta hingga 15 juta per bulan.
Pulang dari bekerja, mereka biasanya menuju masjid untuk menunaikan shalat Subuh. Dibawanya seluruh anggota keluarga, mulai dari istri hingga anak terkecil. Saya yakin itu semua dalam rangka pembinaan keluarga. Tiap hari Minggu, anggota jamaah yang memiliki keluarga secara bergiliran membawa makanan untuk disajikan dan disantap bersama anggota jamaah lainnya di masjid. Tak pernah sekalipun tak cukup makanannya, meski kadangkala ramai jamaah yang hadir. Tapi semua mendapat bagian, terlepas dari banyak tidaknya porsi yang diperoleh.
Yang menariknya lagi, di antara jamaah yang bekerja sambilan sebagai loper koran itu adalah para ustaz. Mereka adalah lulusan-lulusan dari berbagai pesantren dan universitas di Indonesia dan universitas di Timur Tengah. Jadi, sepulang dari bekerja sebagai loper koran, mereka ikut menyumbangkan ilmunya dengan berceramah secara rutin setelah shalat Subuh hingga pukul 9 pagi.
Pada waktu-waktu lain, dibuat berbagai pengajian rutin, mulai dari tafsir Quran bagi orang dewasa hingga belajar Quran bagi anak-anak. Para ustaz itu tak meminta bayaran dan tak meminta diperlakukan istimewa. Mereka seperti jamaah lainnya yang datang sendiri, pulang sendiri.
Kalau di daerah kita, umumnya anak-anak yang rutin pergi mengaji.
Tapi kalau di Melbourne ini, yang mengaji justru termasuk orang tua dan anak-anak. Kalau di daerah kita, seringkali hanya orang-orang yang sudah berilmu agama tinggi yang rutin menghadiri pengajian rutin. Tapi di Melbourne, berbagai lapisan masyarakat yang ikut hadir. Bukan hanya yang bekerja sebagai pekerja kasar di pabrik-pabrik, tetapi juga para ahli bidang tertentu yang bergaji hingga Rp 60 juta per bulan. Semua berbaur, bagaikan masyarakat muslim tanpa kelas.
Saya sebut tanpa kelas, karena memang tak terlihat adanya orang-orang yang mengelompokkan diri dalam kelompok orang-orang kaya atau kelompok orang-orang pintar. Semuanya saling menyapa satu sama lain, lebih-lebih setelah shalat Subuh ketika acara makan-makan berlangsung. Semua saling berjabat tangan dan menanyakan kabar. Bahkan, semuanya memiliki e-mail untuk saling berkomunikasi dan menjalin silaturahmi.
Bila ada waktu luang, sering dibuat acara berkunjung ke daerah atau negara bagian lain di Austalia secara bersama-sama. Biasanya ada pihak yang ikhlas menyumbangkan bus besar dan ditambah sejumlah mobil pribadi, bila memang bus tidak muat. Ada juga yang menyumbang makanan, berupa nasi bungkus, bakso, dan berbagai macam snack. Pendeknya, setiap kali berpergian jauh, kebersamaan di antara komunitas ini begitu tinggi.
Bila ada anggota jamaah yang akan pulang ke Indonesia untuk selamanya, mungkin karena tamat kuliah atau pindah kerja, tidak lupa dibuat acara perpisahan secara meriah dan mengesankan. Pada saat-saat seperti itu, biasanya masing-masing diberikan kesempatan untuk berbicara sejenak untuk saling mengingatkan agar selalu bekerja keras, senantiasa sukses, dan menjunjung tinggi persahabatan. Kelihatan sekali sebuah kelompok masyarakat muslim yang kompak dan berkarakter.
Saya yakin, terbentuknya masyarakat seperti itu tak terlepas dari peran para ustaz yang meskipun ada yang bekerja sambilan sebagai loper koran, tapi mereka rutin dan secara bergantian memberikan petuah-petuah agama kepada umat di negeri kanguru ini. Bukan hanya berdakwah dengan lisan, tetapi mereka juga melakukan hal-hal yang berguna dalam kehidupan nyata. Sebagai perantau dari Aceh, saya sungguh terkesan pada kiprah mereka.
* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com
Editor : bakri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya