Senin, 26 Desember 2011

George Town, Kota Tua di Pulau Pinang

Oleh Bustami Abubakar, Mahasiswa Doktoral Jurusan Antropologi-Sosiologi School of Social Sciences, University Sains Malaysia (USM).

MINGGU lalu, saya menemani Ustaz Yusran Hadi yang datang dari Kuala Lumpur ke Penang. Bersama beberapa orang kawan lain, saya mengajaknya mengunjungi salah satu situs sejarah yang cukup penting, George Town, yang terletak di bagian Timur Laut Pulau Pinang.

Menilik namanya, seakan ia bukanlah satu kota yang berada di Malaysia. Demikian pula ketika mengitarinya, Anda seakan sedang tidak berada di negeri Melayu. Di George Town, Anda dapat melihat Eropa melalui bangunan-bangunan tua yang berarsitektur klasik. Nama-nama kawasan dan jalan pun banyak bernuansa Eropa, seperti Lebuh Kimberley, Lebuh Hutton, dan sebagainya.

Nama yang ditabalkan pada kota ini diadopsi dari nama Raja Inggris, George William Frederick (King George III), yang berkuasa sejak 25 Oktober 1760 -1 Januari 1801. Kota ini didirikan pada tahun 1786 oleh Kapten Francis Light, seorang pedagang dari British East India Company. Ia dijadikan sebagai base-camp perdagangan Inggris di Malaysia. Kapten Francis Light beroleh izin membuka bisnis dagang di Pulau Pinang dari Sultan Kedah. Dia kemudian mendirikan Fort Cornwallis, sebuah benteng pertahanan yang kemudian menjadi wahana penting bagi pertumbuhan perdagangan di kawasan ini. Benteng ini menghadap ke arah laut yang hanya beberapa meter saja di hadapannya.

Bagi masyarakat Aceh, George Town juga memiliki nilai sejarah yang tidak boleh dilupakan. Beberapa tahun setelah Francis Light mendirikan George Town, seorang bangsawan Aceh keturunan Arab, Syed Husen al-Idid datang ke sana untuk berdagang. Syed Husen menuai sukses besar dan berhasil menjadi seorang pedagang kaya dan disegani. Dia kemudian membuka kawasan baru di George Town yang dikenal dengan nama Lebuh Aceh. Di Lebuh Aceh ini, Syed Husen membangun masjid, rumah bagi diri dan kerabatnya, sederetan kedai, madrasah al-Quran, dan kantor perdagangan.

Dahulu, Masjid Lebuh Aceh ramai dikunjungi oleh calon jamaah haji dan rombongan pengantarnya. Ketika itu, George Town menjadi pusat embarkasi jamaah haji. Sebelum diberangkatkan dengan kapal laut, calon jamaah haji dan rombongan pengantar mendirikan tenda-tenda di lapangan terbuka yang terletak di sebelah Fort Corwellis. Tanah lapang itu sekarang dikenal dengan nama Kota Padang Lama. Adapun pelabuhan laut terletak di sisi mukanya. Untuk kepentingan ibadah mahdhah, seperti shalat, berzikir, dan sebagainya, mereka dapat dengan mudah menunaikannya di Mesjid Lebuh Aceh yang berada cukup dekat dengan kamp.

Sekarang, kawasan Lebuh Aceh menjadi harta wakaf yang dikelola oleh baitul mal setempat. Kawasan ini dihuni oleh ragam etnik, seperti Melayu, India, Cina, dan Arab. Aneka etnik yang mendiaminya ditambah dengan kekhasan gedung-gedung kuno namun tetap “gagah” yang terpancang di atasnya, menjadikan George Town sebuah kota tua yang unik, bersejarah, dan juga mempesona. Karena itu, cukup beralasan kiranya jika pada bulan Juli 2008,UNESCO menetapkan George Town sebagai salah satu the world heritage site.

Pada tahun 2000, majalah Asiaweek memilih George Town sebagai kota terbaik ke 9 di Asia. Sepuluh tahun berikutnya, berdasarkan survey yang dilakukan oleh Employment Conditions Abroad (ECA) Internasional, George Town menempati rangking ke 9 sebagai kota yang paling nyaman  untuk ditempati (the most liveable city) di Asia. Kategori penilaian dalam survei tahunan ini meliputi iklim, kualitas udara, pelayanan kesehatan, perumahan dan utilitas, isolasi, jaringan sosial, akomodasi, infrastruktur, keamanan, dan tensi politik.

Bagaimana dengan Kota Banda Aceh yang tengah giat mengkampanyekan Bandar Wisata Islami?

* Jika Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas bersama foto Anda ke: redaksi@serambinews.com

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya