Senin, 26 Desember 2011

Di Maroko, Roti pun Bisa Beli Saparuh

Laporan Cut Zamzahira

HIDUP merantau jauh dari orangtua dan saudara, sebenarnya bukan hal baru dalam perjalanan hidup kami (aku dan suami). Namun merantau jauh sampai ke Benua Afrika utara sebagai istri seorang mahasiswa, tentu saja merupakan pengalaman pertama bagiku saat itu. Berbagai pengalaman suka dan duka yang tak dapat diulang kembali sepulang ke tanah air.

Tinggal di Casablanca, nama satu kota yang sering di pakai untuk merek parfum ini telah mendidik kami akan banyak hal. Lingkungan apartemen baru yang banyak dihuni oleh pasangan pengantin baru, membuat kami lebih cepat menyesuaikan diri dengan suasana. Meskipun tidak ada seorang pun tetangga yang berasal dari Asia, apalagi Indonesia.

Selain bahasa Arab, bahasa pengantar kedua di Maroko adalah bahasa Perancis. Hampir semua orang Maroko fasih berbahasa Perancis, sama fasihnya dengan orang Perancis tulen. Maka jangan heran jika semua urusan surat resmi, nama toko, percakapan sehari-hari diwarnai Arab-Perancis. Sedangkan bahasa Inggris mungkin hanya sebagian orang saja yang mengerti.

Meskipun sebelum menikah aku pernah mempelajari bahasa Perancis saat masih di Yogya, namun karena jarang mengunakannya, membuatku tidak percaya diri di awal-awal resmi menjadi Chinoi (dalam bahasa Perancis berarti orang Cina, dimaksudkan untuk orang Asia yang bermata cipit, rambut lurus) di kota Casablanca. Sehingga otomatis urusan belanja sepenuhnya kuserahkan kepada suami tercinta.

Memasak sendiri bukan hanya untuk menghemat, tapi memang tidak ada warung makan di sana (orang Maroko sehari-hari hanya makan roti dengan laukpauk dan tidak makan nasi). Jadi jangan berharap dapat makan nasi di luar sana jika malas memasak. Beras pun hanya diimpor dari Thailand, yanh harganya tak jauh beda dibandingkan dengan harga beras Banda Aceh yang mungkin hanya ‘diimpor’ dari Tangse.

Ada cerita unik dari seputar urusan belanja. Aku pernah terheran-heran saat memeriksa barang belanjaan yang dibawa pulang oleh suami. Ada tiga kantung teh celup tanpa kotaknya. Aku berpikir saat itu, mungkin beberapa kantung lainnya tercecer beserta kotaknya. Memang biasanya kami mengonsumsi teh seduh (teh Cina) selama di sana, namun hari itu aku ngidam teh celup seperti di Indonesia.

Suatu hari, dengan kondisi sedang hamil lima bulan, membuatku sering merasa lapar. Aku keluar apartemen membeli Khubs (roti Maroko berbentuk bulat padat yang terbuat dari gandum). Khubs biasanya diisi dengan keju, selai, telur rebus atau ikan kalengan, bisa untuk makan siang.

Saat itu kulihat seorang anak kecil juga sedang membeli roti yang sama, namun ia hanya membeli setengahnya saja. Hah, tentu saja aku kaget, ternyata sampai roti pun juga bisa dibeli setengahnya saja. Demikian juga sat membeli cabe merah, yang bisa dipilih di dalam tumpukan cabe hijau dan bisa dibeli beberapa biji saja.

Setelah melahirkan anak pertama di sana, kami juga mulai familiar dengan pembelian diapers bayi secara eceran dalam jumlah satuan. Aku salut pada pemerintah Maroko, meski bukan negara yang kaya akan sumber daya alam, tapi jauh dari kesenjangan sosial rakyatnya.

Pemerintah Marokoh mampu menyediakan pendidikan gratis dari jenjang sekolah dasar hingga tingkat doktor. Program ini, bukan hanya untuk warga negaranya saja, tapi juga bagi mahasiswa negara lain seperti suamiku yang berasal dari Indonesia, di tambah dengan sedikit uang saku. Bravo Maroc..!!

* Bila Anda punya informasi menarik, kirimkan naskah dan fotonya serta identitas Anda ke email: redaksi@serambinews.com

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya