Kamis, 08 Desember 2011

Abdul Rozaq, Pilot yg mendarat darurat di Bengawan Solo

Hidup akan semakin terasa ketika ajal telah berada di depan mata. Itulah yang pernah dialami oleh pilot pesawat Boeing 737 Garuda Airways Nomor penerbangan 421, Abdul Rozaq. Ketika itu, ia tengah ‘mengemudikan’ pesawat ditengah cuaca amat buruk dan dua mesinnya mati.

”Kalau dipikir-pikir pakai akal sehat, tentu tinggal tunggu jatuhnya saja. Tapi akhirnya kita masih bisa selamat. Itu karena adanya mukjizat dari Tuhan saja,” ujar Rozak yang berhasil mendaratkan pesawat di sungai Bengawan Solo yang terletak di desa Serenan, Juwiring, Klaten 16 Februari 2002.

Mukjizat yang pernah ia alami dari peristiwa memang menambah semakin tebal keimanannya kepada Tuhan. Namun sebagai manusia biasa Rozak masih belum sepenuhnya bisa menghilangkan perasaan takut maupun trauma. Setidaknya, berdasarkan hasil tes psikologi ia dinilai masih memendam stres yang dalam.

Akibatnya, ia harus rela beristirahat dirumah. Untuk mengisi waktu senggangnya, ia lebih banyak berkumpul bersama keluarga dan aktif di Majlis Ta’lim di Komplek Cipondoh Permai, Kepada wartawan Republika M Akbar, pria berpenampilan kalem ini menuturkan pengalamannya. Berikut petikannya;
Quote:
@Body:Ketika mesin pesawat mati, Anda berada pada kecepatan dan ketinggian berapa?
Ketinggian pesawat ketika itu 23 ribu kaki. Sedangkan kecepatannya kurang lebih 550 knot.

Pada saat itu, apa yang Anda lakukan?
Berusaha. Tetapi setelah usaha itu tidak menghasilkan apa-apa, akhirnya kita hanya bisa pasrah.

Usahanya seperti apa?
Melakukan prosedur standar, seperti melakukan check list mesin. Tetapi karena mesin semuanya sudah mengalami malfunction akhirnya kita pasrahkan saja semuanya.

Sesaat sebelumnya Anda masih dapat berhubungan dengan bandara mana?
Dengan Yogya dan Bali.

Apa yang Anda sampaikan kepada mereka?
VO (Vice Officer atau ko-pilot–red) saya yang menyampaikan pesan, Mayday…mayday. Dan ketika dia terus menyampaikan pesan itu, saya langsung bilang, ”Mayday, mayday sama siapa. Lah wong radionya saja sudah mati. Percuma saja.” Akhirnya, dia meletakkan radio. Terus kami berkonsentrasi.

Mustinya Anda akan tiba di Yogya tinggal berapa lama lagi?
Tidak lama, mungkin sekitar 15 menit lagi lah.

Bagaimana kondisi di dalam pesawat ketika itu?
Keadaan masih dapat terkontrol. Tetapi semua alat komunikasi telah mati termasuk lampunya.

Lantas apa yang Anda lakukan?
Saya hanya bisa berteriak, ”Prepare emergency. Mesin dua-duanya mati. Tolong siapkan di belakang!” Dan kebetulan salah seorang awak kabin datang ke depan. Ketika itu, kru kabin ingin mengecek kenapa lampu mati. Saya dan ko-pilot melakukan ini karena kami berdua sudah tidak bisa lagi meninggalkan kabin pesawat. Ya akhirnya salah satu komunikasi yang dapat kami lakukan adalah berteriak saja.

Apakah Anda langsung memberitahukan keadaan ini kepada para penumpang?
Belum, karena ‘kondisinya’ sangat sempit. Akhirnya saya tidak bisa kasih tahu kepada para penumpang mengenai keadaan yang terjadi.

Siapa yang memberitahukannya kepada para penumpang?
Awak kabin yang datang tadi. Tetapi karena dia tidak datang lagi, akhirnya saya berteriak lagi yang lebih keras sambil terus mengemudikan pesawat secara manual. ”Prepare emergency, please for impact.” Sedangkan VO (Vice Officer atau ko-pilot–red) yang ada bersama saya, langsung menggedor pintu kabin. Dan akhirnya, dari belakang pun terdengar teriakan, ”Ready.”

Pada kondisi demikian, apakah Anda berpikir masih bisa selamat?
Ya… pada saat itu yang terpikir adalah ajal sudah di depan mata. Sebentar lagi saya meninggal. Saya hanya bisa berdoa. ”Kalau memang sudah waktunya, saya rela dan pasrah ya Allah.” Setelah itu saya mengucapkan ‘Allahu Akbar’. Dan saya pun langsung berkonsentrasi.

Bagaimana juga dengan ko-pilot Anda?
Dia juga sudah gemeteran dan hanya bisa berdoa saja, sama seperti saya.

Apa yang diusulkan oleh ko-pilot ketika itu?
Dia mengusulkan untuk mendarat di sawah. Karena waktu itu sedang hujan, jadi sawah yang terlihat dari atas memang tampak bagus, rata dan hijau semuanya. Tapi kita ‘kan tidak tahu di bawahnya. Selain sawah yang terlihat, tampak juga lapangan bola, dan sungai.

Anda akhirnya memilih mendarat di sungai?
Ya pada saat itu kami memang sempat berdebat sebentar. Dan itu sudah biasa. Perdebatan adalah hal biasa terutama untuk mendapatkan input. Dan setelah sebanyak mungkin kita mendapatkan input, terus kita olah dan kita putuskan.

Berapa lama perdebatan itu?
Sebentar, kurang lebih mungkin satu menit-an.

Bagaimana memberikan argumentasi sehingga ko-pilot bisa menerima ide Anda?
Sebetulnya itu kan sudah menjadi hal yang biasa. Perdebatan itu bukan sesuatu yang serius. Pada saat seperti itu, dia memang harus ngasih pendapat, input, dan alasan. Dan yang saya jelaskan kepadanya sambil terus memegang kemudi pesawat, Saya bilang, ”mungkin saja apa yang kita lihat dari atas itu belum tentu sama. Apalagi sawah itu kan banyak galengannya. Bisa-bisa nanti malah menimbulkan gesekan yang akan dapat menyebabkan kebakaran.”

Setelah berhasil mendarat, apa yang Anda lakukan?
Evakuasi penumpang dulu. Setelah evakuasi semuanya selesai, saya langsung sujud syukur. Saya berucap, ”Terima kasih ya Allah.” Dan setelah itu, saya menghubungi kantor perihal jatuhnya pesawat kami.

Tetapi bukankah Anda sempat lupa memiliki handphone ketika itu?
Ya memang (ujarnya sambil menatap kosong–red). Setelah evakuasi penumpang selesai, saya bersama salah seorang pramugari sempat terlupa bahwa kita membawa handphone.

Berapa lama Anda teringat kalau membawa handphone?
Sekitar lima hingga sepuluh menit. Tetapi setelah sadar membawa handphone pun kita masih belum bisa menggunakannya. Karena saat itu kami masih gemeteran. Ketika itu saya bingung mau kontak kemana. Karena saya tidak bisa menemukan nomor yang tersimpan di handphone. Bahkan untuk memencetnya pun kita tidak bisa. Tetapi setelah terus memencet, ketemulah nomor kantor. Setelah itu, langsung saja saya menghubunginya. Dan Alhamdulillah, langsung nyambung.

Siapa yang menerima di kantor ketika itu?
Salah seorang kru reschedulling. Dan ketika saya katakan, saya mengalami crash. Eh dia-nya yang malah bingung. ”Crash apa!,” kata kru itu kepada saya. Dan untunglah di dekatnya ada rekan saya. Terus saya ceritakan perihal pesawat kami.

Lantas?
Dianya malah ikutan bingung juga. Dia malah mengatakan, ”Gimana sudah dilaksanakan semua prosedurnya nggak.” Lantas saya menjawabnya, ”Lah sekarang saya sudah berada di sungai kok.” Selesai itu, diberitakanlah kepada orang yang di kantor. Kebetulan saat itu sedang ada rapat. Dan dari situlah akhirnya informasi terdistribusi ke semua station di Yogya, Solo dan Ampenan. Dan mereka tidak kesulitan pula menemukan lokasi kami.

****
Profesi sebagai pilot sebenarnya bukanlah cita-cita Abdul Rozak. Pria kelahiran Kudus 29 Maret 1957 ini masuk ke STM usai menamatkan pendidikan SMP Islam Al Ma’ruf, Kudus. Bahkan usai lulus dari STM, Rozak sempat bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Di tempat kerja ini Rozak bertahan selama kurang lebih setahun.

Baru setelah setahun bekerja, membuat Rozak tergerak untuk melanjutkan ke LPPU Curug. Ketekunan anak seorang guru Sekolah Dasar di Kudus ini mengantarkan sebagai lulusan sekolah penerbang di Curug pada tahun 1980. Usai tamat LPPU, PT Garuda Indonesia menerimanya sebagai penerbang.
Di perusahaan penerbangan milik negara inilah Rozak mengawali karier sebagai pilot pesawat Fokker F-28. Karier pria berpenampilan kalem ini tampaknya terus menanjak. Tahun 1987, Rozak menjadi ko-pilot pesawat Boeing 737-200. Selain itu juga menjadi instruktur pesawat Boeing 737.

Meski mengaku profesi pilot bukan sebagai cita-cita, namun dunia penerbangan tampaknya kini sudah menjadi jalan hidupnya. Di bidang ini pula, pilot yang mengantungi 12.020 jam terbang ini bertemu Istiqomah yang kini menjadi isteri. Istiqomah, mantan pramugari Garuda yang disunting Rozak 18 tahun lalu adalah teman satu kursus di Kemayoran.

Kini pasangan Abdul Rozak-Istiqomah telah dikaruniai lima orang anak. Anak pertama dan kedua kini belajar di pesantren Al Ihya, Bogor. Sedang anak yang ke tiga kelas 6 SD, anak nomor empat kelas empat SD serta anak ke lima berumur 17 bulan. ”Karena saya itu tidak selalu ada di rumah. Jadi saya tidak bisa secara penuh mendidik dan mengawasi mereka,” ujar Rozak memberikan alasan mengapa memasukan anaknya ke pesantren.

Selain banyak menghabiskan waktunya untuk keluarga, hari-hari Rozak menghabiskan cuti digunakan aktif di Yayasan Al Ikhlas yang ada di dekat rumahnya. ”Saya hanya ingin terus berusaha dan bertawakal dalam hidup ini. Apalagi setelah peristiwa kemarin itu, keyakinan saya terhadap Allah semakin besar. Dan menurut saya, peristiwa kemarin itu merupakan kehendak-Nya terhadap hidup saya,” ujarnya.

*****
Spoiler for gambar:




Niih gan orangnya
Quote:
Segitu dulu gan. masih ada lagi. tapi ga muat di sini

semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya