Rabu, 14 Desember 2011

Wisata ala Homestay

Oleh Azhar A Gani

KEHADIRAN sektor akomodasi dalam industri pariwisata terus berkembang seiring dengan penambahan jumlah kunjungan. Berbagai event yang diselenggarakan sepanjang tahun dipercayai turut memberi andil terhadap sektor yang sering dipandang “miring” oleh sebahagian masyarakat. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh investor untuk terjun dalam bisnis yang memerlukan modal tidak sedikit dengan berbagai trik untuk menarik minat para tamu untuk menginap.

Turis yang berkunjung ke suatu destinasi wisata biasanya memerlukan tempat penginapan selama mereka mengisi waktu berekreasi dan bersenang-senang (leisure). Biasanya, turis akan memilih berbagai jenis akomodasi seperti hotel, wisma, losmen, cottage serta bungalow. Keputusan untuk memilih jenis penginapan tidak semata-mata dipengaruhi oleh jenis penginapan, kenyamanan, keamanan, tarif serta isi kantong para wisatawan. Akhir-akhir ini, terutama di wilayah Kota Banda Aceh dan sekitarnya hadir beberapa tempat penginapan yang diberi lebel homestay. Beranjak dari fenomena tersebut, tulisan ini ingin memahami bagaimana sebenarnya konsep ideal model penginapan ala homestay sebagai sebuah produk pariwisata.

Homestay (menginap di rumah penduduk) merupakan salah satu bentuk akomodasi yang disediakan oleh penduduk (hosts) kepada para turis (guests). Berbeda halnya dengan hotel, wisma dan losmen, homestay biasanya dioperasikan dan dikelola oleh penduduk di kawasan pemukiman di mana rumah penduduk berfungsi sebagai sebuah homestay juga menyediakan kamar untuk keperluan turis menginap layaknya kamar hotel. Namun, perbedaan paling kontras dari penginapan ala homestay yaitu turis tinggal bersama dengan pemilik rumah selama mereka berlibur sambil berinteraksi dan sekaligus menikmati kehidupan sehari-hari penduduk. Paket wisata yang ditawarkan dalam program homestay juga sangat sederhana misalnya turis menginap diajarkan memasak makanan khas setempat, mempelajari tari-tarian atau seni bela diri serta kesenian lainnya serta bercocok tanam sesuai dengan yang dilakukan petani setempat.

Di Malaysia, homestay sebagai satu produk wisata mulai diperkenalkan pada Tahun 1995. Saat ini program tersebut sudah hadir di 277 kampung di berbagai negeri bagian Malaysia dengan 3.264 peserta (pemilik rumah) yang mengelola sekitar 4.500 kamar untuk disewakan pada turis. Pada 2009 tercatat l57.654 turis terdiri atas 124.594 turis domestik dan 33.060 turis asing terutama dari Jepang dan Korsel yang mengikuti program wisata tersebut di Malaysia. Sedangkan dari pemasukan devisa, wisata homestay membukukan pemasukan sekitar (RM9,9 juta) atau sekitar Rp25-miliar (Matanews.com, 2010).

Banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai destinasi Wisata ala homestay seperti kawasan pedesaan yang dapat “menjual” tradisi pertanian, kawasan pantai mengandalkan kehidupan nelayan dan kawasan pengunungan juga dapat menawarkan berbagai keindahan alam dan penghasil berbagai komoditas perkebunan sebagai daya tarik. Keuntungan lain wisata ala homestay antara lain dapat mempertahankan nilai-nilai lokal masyarakat setempat, dan penduduk terlibat langsung dalam menyediakan berbagai keperluan bagi turis selama mereka berada di tengah-tengah penduduk. Wisata ala homestay ini dipercayai sebagai bentuk wisata yang melibatkan penduduk secara langsung dan merupakan salah satu karakteristik pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).

Bagaimana dengan Aceh?
Barangkali kita semua sudah maklum jika Banda Aceh sudah mengumumkan kepada seluruh penduduk dunia sebagai Bandar Wisata Islami dengan mengusung ikon Peumulia Jamee Adat Geutanyo. Berbagai perhelatan besar dan bergengsi sudah dipentaskan sampai dengan menjelang tutup tahun 2011. Kritikan pedas pun kerap dialamatkan kepada pemerintah kota mulai dari proyek drainase yang sangat mengganggu hingga harga-harga makanan dan minuman yang mencekik leher sampai kepada tarif beca yang tidak menentu. Pertanyaan yang mungkin belum terjawab yaitu pengalaman apa yang didapat wisatawan selepas berkunjung ke provinsi yang kerap menjadi perhatian dunia semenjak konflik dan bencana tsunami? Pertanyaan lain yang juga pantas diajukan adalah sampai sejauh manakah event-event wisata yang digelar selama ini memberikan manfaat langsung baik secara ekonomi dan sosial kepada penduduk? Aceh sebagai daerah yang mempunyai keunikan tersendiri baik dari sudut pandang adat dan budaya serta agama dan pengalaman tragedi tsunami berpeluang untuk mengembangkan wisata ala homestay sebagai sebuah pilihan.

Peluang tersebut kini terbuka lebar. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf-dulu bernama Kemenbudpar) telah melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pariwisata sejak 2009 lalu. Hingga kini, sudah ada 569 desa yang dikembangkan menjadi desa wisata, dengan bantuan dana Rp 150 juta setiap desa. Pada 2012, Kemenparekraf menargetkan 960 desa dapat dikembangkan menjadi desa wisata. Sementara itu, untuk tahun 2014, ditargetkan ada 2 ribu desa wisata. Namun, Program pengembangan desa wisata di bawah kementerian yang kini dipimpin oleh Marie Pangestu, lebih fokus pada pengembangan infrastruktur desa yang mempunyai potensi daya tarik wisata seperti peningkatan akses jalan, dan prasarana penunjang lainnya termasuk pelatihan pemandu wisata dan kemahiran berbahasa asing. Program desa wisata tersebut merupakan modal untuk mengembangkan wisata ala homestay di kawasan pemukiman penduduk. Langkah selanjutnya, semoga pihak-pihak terkait dengan industri pariwisata terutama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dapat berdiri di depan sebagai pelopor serta membidani kelahiran wisata ala homestay sebagai salah satu produk wisata alternatif.

* Penulis adalah Dosen Fakultas Pertanian, Unsyiah. Kandidat Doktor Manajemen Pariwisata, Universiti Utara Malaysia.

Editor : bakri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya