Rabu, 14 Desember 2011

Menunggu Generasi Idiot

Oleh Muhammad Syukri

TERKEJUT! Benar-benar terkejut membaca judul berita Serambi Indonesia, Jumat (11/11/2011) yang menyatakan 86.400 liter merkuri cemari Aceh Selatan. Dalam berita itu disebutkan bahwa pengelolaan batu emas secara tradisional menggunakan ribuan liter merkuri, limbahnya telah meresap ke dalam bumi, tanah, sungai dan alam terbuka. Anehnya, pengelola tambang tradisional malah menganggap merkuri itu tidak berbahaya.

Merkuri, mungkin mengingatkan orang kepada vokalis group band Queen, Freedy Mercury yang meninggal karena menderita HIV/AIDS bukan karena tercemar merkuri. Menilik dari segi namanya, merkuri mengandung bunyi yang indah untuk diucapkan, padahal itu nama zat kimia yang merupakan salah satu logam berat paling berbahaya ketiga setelah arsenik dan timbal. Bagi masyarakat awam, merkuri dikenal dengan sebutan air raksa atau air keras yang sering digunakan pandai emas atau tukang patri sebagai salah satu bahan kerjanya.

Apakah sesungguhnya merkuri itu? Merkuri dalam susunan periodik Mosley dikenal dengan nama hydragyrum (Hg) yang berarti perak cair.

Merkuri termasuk unsur logam dengan nomor atom 80 dan nomor massa 200.59. Dalam kehidupan sehari-hari, merkuri sudah sering digunakan. Syaputra Irwan dalam situs www.chem-is-try.org memberi contoh seperti amalgam yang digunakan untuk penambalan gigi merupakan penggunaan merkuri dalam dunia kedokteran. Berbagai senyawa merkuri tertentu digunakan sebagai pestisida dan fungisida dalam bidang pertanian. Termometer, Barometer dan Spignometer merupakan alat-alat yang menggunakan logam merkuri sebagai standar ukur.

Menurut Trilianty Lestarisa (2010) dalam usaha pertambangan, pengolahan biji emas dilakukan melalui proses amalgamasi yaitu menggunakan merkuri untuk media mengikat dan memurnikan emas. Oleh karena itu, pencemaran merkuri banyak sekali ditemukan pada penambang emas tradisional yang dikenal dengan istilah penambang emas tanpa izin (PETI). Kemudian, Badan Pengelola dan Pelestarian Lingkungan Hidup pada tahun 2002 melaporkan bahwa setiap tahun diperkirakan 10 ton merkuri (Hg) sisa penambangan emas tradisional dibuang ke sungai.

Berangkali pembaca masih ingat kasus yang terjadi di Minamata Jepang tahun 1953 yang terkenal dengan penyakit itai-itai ditandai dengan hilangnya keseimbangan tubuh, tidak bisa berkonsentrasi, tuli dan berbagai gangguan kesehatan lainnya. Mereka menderita sakit yang tak terobati. Asal penyakit itai-itai dari ikan dan biota laut di pantai Minamata yang tercemar merkuri sisa limbah pabrik di sekitarnya.

Belum lama ini, di Teluk Buyat Sulawesi Utara, sejumlah penduduk di sana mengalami luka kulit seperti terbakar juga akibat terkontaminasi limbah merkuri buangan PT. Newmont. Jelasnya, sejumlah logam berat seperti arsenik, timbal, kadmium dan merkuri sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan. Jadi sangat salah jika penambang emas tradisional di Aceh Selatan maupun di lokasi lain mengatakan merkuri tidak berbahaya bagi kesehatan.

Bagaimana proses pencemaran merkuri (raksa) terjadi? UNDP melalui Laporan Akhir Global Mercury Project (2007) dalam Lestarisa (2010) menyebutkan: para penambang pada umumnya tercemar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit, menghirup uap merkuri, dan memakan ikan yang telah tercemar merkuri. Pada masyarakat umum, pencemaran biasanya terjadi karena memakan ikan yang telah tercemar dan menghisap uap merkuri yang berasal dari toko emas di sekitarnya ketika amalgam dibakar.

Masalah kesehatan utama akibat uap merkuri terjadi pada otak, paru-paru, sistem syaraf pusat dan ginjal. Ibu yang sedang hamil dapat menularkan merkuri organik pada janin melalui plasenta sehingga merusak otak dan organ tubuh janin yang menyebabkan keterbelakangan, bahkan kematian. Bayi dan anak kecil yang terkontaminasi merkuri dapat mengalami kesulitan belajar atau tingkat kecerdasan yang rendah.

Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan 86.400 liter merkuri yang dibuang sehingga mencemari kawasan Aceh Selatan? Belum lagi limbah merkuri di kawasan Gunong Ujeun Aceh Barat, Tangse Pidie atau kawasan lain yang di sana terdapat penambang emas tanpa izin (PETI). Mungkin, kalau merkuri itu hanya mencemari para penambang, tentu sudah menjadi risiko mereka bermain dengan logam berat berbahaya. Namun bagaimana dengan limbah merkuri yang dibuang ke tanah, terbawa air hujan yang selanjutnya mengalir ke sungai-sungai dan berakhir di laut. Sementara kita ketahui bahwa di perairan itu hidup sejumlah ikan yang dikonsumsi oleh masyarakat umum yang sesungguhnya sudah tercemar oleh limbah merkuri. Malah, ikan-ikan itu bukan hanya dikonsumsi oleh masyarakat di pantai Barat-Selatan, tidak tertutup kemungkinan sudah didistribusikan ke seluruh Aceh.

Ini artinya, rakyat Aceh sedang menabung merkuri sambil menunggu waktu kehancuran otak, paru-paru, sistem syaraf pusat dan ginjalnya. Termasuk sedang menunggu lahirnya ribuan bayi yang mengalami kerusakan otak dan organ tubuhnya. Saat lahir, mereka akan menjadi anak-anak yang mengalami keterbelakang mental (idiot). Inikah penduduk Aceh di masa yang akan datang?

Sementara penyakit yang disebabkan oleh pencemaran merkuri belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Kalau demikian halnya, untuk apa memiliki emas berlimpah jika harus menderita karena penyakit yang tak ada obatnya. Untuk apa kaya raya dari hasil penjualan emas jika harus merawat anak-anak idiot? Untuk apa dibangun infrastruktur dari Dana Otsus Migas yang trilunan rupiah itu, jika generasi mendatang hanya terdiri dari orang-orang idiot?

Barangkali semua pihak harus sangat paham dan menyadari bahaya dari limbah merkuri, logam berat yang sangat berbahaya. Limbah merkuri tidak boleh dibuang di sembarang tempat atau ditanam di dalam tanah, tetapi harus ditenggelamkan ke cekungan laut terdalam yang tidak ada kehidupan di sana. Kalau tidak sanggup mengelola limbah merkuri, sebaiknya jangan diberi izin melakukan penambangan emas yang ujung-ujungnya membuat orang lain merana seumur hidupnya.

Semua orang tahu, mereka yang meraup keuntungan dari emas yang ada di dalam bumi Aceh hanya tauke-tauke yang ongkang-ongkang di Medan dan kota besar lainnya. Sebaliknya, rakyat yang mengelola pertambangan emas tanpa izin, termasuk masyarakat setempat hanya memperoleh imbalan sekadar cukup makan. Lagi-lagi sangat ironis, akankah rakyat Aceh makmur dengan emas-emas itu?

* Penulis adalah PNS pada Setdakab Aceh Tengah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jika agan dan aganwati mau titip komentar atau pesan dipersilahkan ya